Mengeja nasionalisme wayang, mengejar narsisme maya

[Tulisan dalam rangka Mangayubagya Indonesia ini sebelumnya telah dimuat di Karbonjournal.org. Saya posting lagi untuk Anda]

Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”

—Pidato Ir. Sukarno dalam Kongres Pemuda Indonesia 1932 di Surabaya.

Apa yang termaktub di dalam pernyataan seorang Sukarno di atas cukup membuat saya percaya diri untuk mengeja nasionalisme dengan cara sederhana sebagai rasa cinta kepada Tanah Air. Ir. Sukarno, tentu bukan sosok main-main untuk disandari sebagai pedoman nasionalisme. Ia adalah pemuda yang rasa cintanya kepada Tanah Airnya tak diragukan lagi. Ia juga seorang perawi Nasionalisme Indonesia yang pasti tak berpikiran dangkal.

Nah, permasalahan klasiknya adalah pada pembacaan kita yang mungkin salah arah akan ajaran para peramu negeri ini atau pembacaan yang tak pernah tuntas karena zaman yang terus bergerak, termasuk terhadap ajaran Sukarno tentang Nasionalisme Indonesia tadi. Maka kalimat propaganda sastrawi Sang Putra Fajar itu hanya menjadi selembar potret sepia nan berjarak dengan pemuda saat ini. Saya termasuk generasi yang menangkap Nasionalisme Indonesia sebagai sebuah potret lawas. Potret yang tak mampu menampilkan kejernihan warna selembar Jas Merah sehingga saya bisa bangga memakainya. Ataukah sejatinya kita yang sengaja dibuat rabun? Seperti misalnya betapa tak banyak dari kita yang menyadari bahwa Indonesia pernah memiliki presiden bernama Sjafruddin Prawiranegara. Meski hanya berlangsung delapan bulan (Desember 1948 – Juli 1949), ahli sejarah memercayai bahwa Republik Indonesia (RI) tak akan pernah kembali terwujud apabila Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tidak dibentuk. Sjafruddin Prawiranegara mendapat mandat langsung dari Soekarno-Hatta setelah RI jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II. Artinya juga, pusat pemerintahan Indonesia pernah berada di Bukittinggi selain di Jakarta dan Yogyakarta. Itu satu contoh kecil samar sejarah dengan kasus besar setingkat presiden dan pusat pemerintahan. Bagaimana dengan remah-remeh sejarah? Dan Nasionalisme Indonesia?

Sesungguhnya tak ada yang menuntut kaum muda untuk tahu semua itu. Toh hampir tak ada hal ideologis ketanahairan, yang menggerakkan anak muda untuk kembali mengiblat sejarah lalu, kecuali mungkin lantaran kesungkanan naif akan jargon akronim “Jangan sekali-kali melupakan sejarah [Jas Merah]”, atau dalam bentuk ideologis penerpaksaan seperti di era Orde Baru melalui kewajiban bela negara dan doktrin Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) berpola pendukung ratusan jam. Itupun—untungnya, tak mampu mengimbas secara massif kepada generasi pasca-Reformasi. Imbas itu baru terlihat di ranah keindonesiaan berupa semangat kebersamaan yang terburu-buru tatkala merasa terancam atau yang muncul tiban saat menjadi korban.

Meski begitu, semangat keindonesiaan sebagai buah dari perasaan terancam dan yang muncul secara instan karena menjadi korban itu, tak cukup mampu mengapikan bara nasionalisme. Alih-alih mengguncang dunia, yang terjadi justru meranggas atau meliar melabrak batas nasionalisme itu sendiri. Psikologi sosial memang berhasil menampakkan pelabrakan batas itu, memperlihatkan tiga pola semangat keindonesiaan mutakhir. Ketiga pola yang sebenarnya bukan hal baru, setidaknya telah disiratkan dalam babakan sebuah perkeliran wayang. Kumbakarna dan Gunawan Wibisana dalam Ramayana, dan Adipati Karna dalam Mahabharata. Ketiganya adalah ikon nasionalisme yang berpola beda dalam kiprah sekaligus pengingkarannya.

* * *

Mengutip Wikipedia—yang merupakan ensiklopedia bebas dengan keterbatasannya—mengenai
pengertian Nasionalisme rasanya masih bisa dimaafkan. Karena meski Wikipedia dapat disunting sebebas-bebasnya oleh siapapun, tetaplah tak layak bagi mereka untuk mengorbankan pengertian Nasionalisme dengan menyuntingnya menjadi pengertian Chauvinisme misalnya. Selain itu toh, Wikipedia cukup mampu menyederhanakan pemaknaannya dari para pemikir seperti Jean Jacques Rousseau, Johan Gottfried von Herder, Anthony Smith, Sukarno, dan seterusnya. Meski tak harus menjadi kesepakatan definisi yang massif, inilah arti nasionalisme dari Wikipedia:

“Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (Nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia”.

—Id.wikipedia.org

Maka berangkat dari teritori ini, ketiga pelakon dunia wayang di atas akan saya tempelkan pada geliat nasionalisme ruang kekinian Indonesia.

Kumbakarna

Dia adalah putra daerah Alengkadiraja, ibu kota sebuah negeri yang sempurna memanjakannya. Hari-hari Kumbakarna adalah tidur kelelapan dan makan kekenyangan. Memang ngehedon adalah laku tapa-bratanya. Sampai ketenangannya terganggu tatkala Rahwana sang kakak menagihnya untuk bela negara. Negeri jiran Kosala mengusik Alengka. Ramawijaya hendak mengambil balik Dewi Shinta istrinya yang diculik Rahwana. Kumbakarna sempat menimbang bimbang, sebab perebutan kelamin bukan urusan negara. Sengketa wilayah pernonokan beda dengan—misalnya—sengketa wilayah Nunukan.

Rahwana tentu tahu hal itu, sebagaimana dia tahu benar akan elan “Patria ou Morte” alias “Tanah Air atau Mati”, yang mengalir laten di nadi membara adiknya. Maka dengan sedikit provokasi Rahwana betapa para majikan Kosala ras Arya itu suka sekali menyiksa budak Tamil saudara sekeling Alengka, dan dengan rasis menyebut mereka gerombolan kera, Kumbakarna terbakar. Segera dia membentuk Laskar Alengka dan memekik “Ganyang Kosala!”, dan demi kepentingannya, tak lupa Rahwana mengingatkan bahwa tak ada orang yang benar-benar bisa bebas dari ketidakbutuhannya akan campur tangan negara jika memilih hidup di dalamnya. Artinya tugas ini juga tak sepenuhnya lepas dari urusan negara. “Right or Wrong it’s My Country” menggeliatkan Kumbakarna. Cancut taliwanda! Sadumuk bathuk sanyari bumi tan belani tumekaning pati! Bersegera! Meski cuma sejengkal, teritori Pertiwi ini harus dibela sampai mati.

Indonesia adalah negeri dengan jutaan pemuda yang tak sedikit berpola Kumbakarna—dengan dilematika serupa, yaitu pola pemahaman bela negara yang berkecenderungan fisik, karena daya nalar mereka acap amat mudah digedor daya juang. Membentuk milisi menjadi sejenis hobi, dan bergabung di dalamnya menjadi semacam keriangan. Penyeragaman identitas nasional rasa sipil yang terbata-bata dijahit Muhammad Yamin tak sediminati seragam loreng. Ya, Muhammad Yamin, adalah satu dari sekian pendiri bangsa yang lebih menitikberatkan persatuan tanah air dalam gerak perjuangan keindonesiaannya. Ia yang pertama menyodorkan tiga elemen penting pemersatu yang akhirnya mewujud sebagai Sumpah Pemuda 1928. Dan untuk merajut persatuan itu, menurutnya dibutuhkan lima faktor penguat yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Tak terbetik ide militeristik seperti komando teritori ataupun sekadar laskar rakyat pemersatu. Gagasan yang amat susah terwujud dan terbilang naif untuk menjaga sebuah negeri paling beragam di dunia.

Sementara, bagi pemuda berpola Kumbakarna penerjemahan nasionalisme paling mudah adalah massa dan seragam loreng. Di kekinian, derap patriotisme mereka nyaring terdengar bersama sepatu bot Pemuda Pancasila (PP), Pemuda Panca Marga (PPM) Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), dan seterusnya. Belakangan Anda akan berpapasan dengan Laskar Merah Putih dan bisa turut mendengarkan semangatnya di laskarmerahputih.com., atau patriot maya berikutnya di situs belanegara.net. Namun jangankan membela negara, pejuang yang terakhir ini gagal membela dirinya dari hacker yang menginvasi mereka dan terpaksa mengonstruksi lagi situsnya.

Nasionalisme Kumbakarna harus ditinjau atau setidaknya dipelajari lagi, dan itu tak dilakukan oleh para milisi—atau barangkali memang hanya lantaran mereka tak cukup punya alasan matang untuk menentangnya. Hal ini bisa saja diibaratkan keterbatasan daya pikir seorang Kumbakarna yang tak cakap menentang argumentasi Rahwana sebagai representasi negara. Bahwa memang mulanya Kumbakarna berprinsip tak semua kehendak negara perlu dibela, mencintai negara tak berarti wajib menjalankan seluruh doktrin yang ada, namun Sang Mahapatih Alengka itu akhirnya lebih memilih menjadi robot. Demikian juga para milisi, mereka membela negara dan lantas menyempit parah menjadi membela pemerintah secara membabi-buta. Pada masa kekuasaan Orde Baru, para milisi ini menjadi kaki-tangan fasis yang sesungguhnya. Sebagai kaki yang menendang perut buruh penentang, sebagai tangan pembekap mulut mahasiswa yang bersuara. Sampai di sini, kita bisa menemukan bahwa nasionalisme Kumbakarna tampak lebih bisa dipahami, meski tetap dengan catatan terhadap ketaatannya pada doktrin kebenaran versi negara. Masih dalam kisah Ramayana yang sama, ketaatan ini dipertanyakan oleh adik kandung Kumbakarna, yaitu Gunawan Wibisana.

Gunawan Wibisana

Dalam kisah Ramayana adalah anak muda yang lahir dan dibesarkan di Alengkadiraja ibu kota Negeri Alengka. Negeri ini tidak pernah mengalami persoalan syarat fisik akan nasionalisme, karena hampir semua kebutuhan pendukungnya sudah tersedia dari awal. Alengka terbangun dari identitas kebersamaan yang massif, seperti kebangsaan, ras, anutan, bahkan kewilayahan (Lokasi Alengka dipercaya sebagai Sri Lanka sekarang, sebuah negara pulau). Johann Gottfried von Herder, filsuf Jerman itu, menyebut negeri demikian sebagai negeri dengan Nasionalisme Romantik. Keadaan yang berbalikan dengan negeri musuhnya, Negeri Kosala yang beribu kota di Ayodhya. Di Kosala, Sri Ramawijaya harus mampu menggalang dan menghimpun berbagai kelompok yang beragam, suku yang bermacam, ras yang berlainan, dan bahkan kasta yang berbeda. Rama harus meramu konsep identitas bersama untuk menghadapi Rahwana. Identitas bersama itu tidak akan pernah bisa terwujud, kecuali dengan mengandalkan dua hal, yaitu kharisma dirinya, dan menjadikan Rahwana sebagai musuh bersama.

Persoalannya adalah justru karena tak ada persoalan. Wibisana, yang barangkali jenis anak muda yang terlalu rajin menekuri ajaran kebijakan, akhirnya menggariskan bahwa konsep identitas bersama dalam nasionalisme tidak penting, melainkan kebenaran hakikilah yang harus ditegakkan. Wibisana merasa kebenaran hakiki itu berada di pihak Rama, lawan dari kakaknya sendiri, Rahwana. Tanpa sepenuhnya tahu atau memang tak mau tahu sejarah Kosala, dunia politik Ayodhya, biografi Rama, ajaran kitabnya, dan konflik filosofis yang ada, Wibisana menyeberang. Dia melangkah tanpa tengok kiri-kanan, hijrah dengan ketaqlidan kepada Rama.

Jalan Wibisana adalah jalan yang belakangan ini ditapaki beberapa kaum muda Indonesia menuju Janah. Mereka yang melepaskan pakaian nasional lantas mengenakan jubah radikal. Kaum muda yang tak butuh konsep identitas kebersamaan, melainkan meyakini anugerah kebenaran langit. Jalan itu semakin meyakinkan, terlebih karena konsep kebersamaan keindonesiaan dipandang sebagai sebuah ketertatihan, sedangkan kebenaran langit bersifat tunggal lagi berpahala.

Seperti halnya Wibisana yang meyakini jalannya benar, begitu pula radikalis surgawi saat ini. Wibisana, dan Wahabi di sini. Ya, Wahabi, sekte dalam Islam ini cukup layak sebagai contoh untuk dilekatkan dengan paham kebenaran anutan Wibisana. Keduanya berada di ranah sama yang bernama “Keyakinan”. Di mana di sana tidak ada yang namanya ’Benar‘ atau ’Salah‘, yang ada hanya ’Yakin Benar‘ dan ’Yakin Salah‘. Wibisana yakin Sang Titisan Wisnu itu “Can do no wrong“, setara Wahabi yang percaya Syariah Allah tak pernah salah. Keyakinan para ultra kanan di belahan dunia yang acap serupa, En Dios Confiamos; In God we Trust.

Kabar baiknya, paham semacam ini telah melampaui semangat ketaatan ala Kumbakarna yang terkungkung oleh batasan teritori negeri. Seperti misalnya para pejalan Wahab ini tak pernah terusik oleh perebutan tari pendet atau paten batik. Mereka tak tergerak oleh ajakan pengganyangan Malaysia atau Korea yang mencuri ikan Indonesia. Budaya dan kekayaan alam hanyalah sementara, dan bukan urusan mereka apabila dicuri oleh sesiapa. Konsep persaudaraan hanya berlaku dalam keyakinan langit, dalam iman yang sama. Solidaritas dan kepedulian mereka baru bangkit ketika Israel melahap Palestina misalnya. Bukan sebuah solidaritas kemanusiaan yang meranggas di sini, namun lebih kepada Palestina sebagai representasi Islam. Solidaritas persaudaraan sesama iman.

Persoalannya adalah, para pelaku solidaritas persaud
aran sesama iman ini juga mengulangi keluputan Wibisana, yang berhenti kepada simbol Sri Rama. Sebagaimana Wibisana yang tak tuntas mengenal Rama dan tak memahami benar akan sejarah Ayodhya, demikian pula para muda Palestinais ini. Adalah ketidaktahuan atau sengaja tak mau tahu bahwa ketiadabatasan persaudaraan sesama iman anutan mereka, berbanding lurus dengan memburamnya batas anutan juga teritori. Misalnya Tanah Palestina tak cuma dihuni oleh mereka yang Islam saja. Kaum Nasrani juga mengalami penindasan serupa. Bahkan yang lebih pelik lagi, betapa di internal Islam Palestina sendiri terjadi pertikaian sesama iman yang runcing, ada Hammas dan tentunya juga Al Fatah. Maka, Palestina yang mana di mata mereka?

Memang kenyataannya akan selalu terulang pertanyaan yang sama terhadap kelengahan konsep nasionalisme. Dan itu terjadi juga pada jalan Wibisana yang tak abai nation, namun butuh nation baru. Kelengahan konsep nasionalisme kedua tokoh Ramayana, baik jalan yang ditapaki Kumbakarna ataupun jalan Wibisana tak perlu lagi diurai. Itu yang saya baca kemudian dari gaya nasionalisme belakangan yang ditumbuhkan para muda di luar tipe Kumbakarna pun Wibisana, yaitu Basukarna.

Basukarna

Basukarna atau Karna, adalah sosok zaman Mahabharata yang hadir di lingkungan nan bertolak belakang dari kondisi kejiwaan dan situasi nasionalisme homogen negeri awal Wibisana. Karna lahir dari seorang ibu yang enggan mengakui kehadirannya, dibuang namun diasuh bahkan dimuliakan oleh ibu yang lain. Ibu yang tak kalah runyam itu adalah sebuah negeri bernama Hastina. Negeri yang kaya namun tak pernah selesai dengan kutukan. Konflik elit dan korupsi tak pernah henti. Tuntutan merdeka negeri taklukan tak pernah reda, seiring penindasan pusat terhadap rakyatnya. Negeri dengan persatuan rentan yang hanya bertahan dengan rantai kekerasan.

Basukarna adalah personifikasi kaum muda Indonesia sekarang, generasi yang menghadapi sengkarut aturan penguasa. Kaum muda yang lahir dari kandungan Orde Baru, yang ditelantarkan dengan kemanjaan. Bayi-bayi yang dibuang dengan melarung mereka dalam arus besar kapitalisme. Sampai saatnya gelombang tersebut menjadi terlalu besar, dan mereka masuk di dalam buaian induk baru, suatu orde reformasi yang setengah hati.

Karna, seperti halnya Wibisana dan Kumbakarna, adalah sosok yang lahir dengan bakat kesaktian masing-masing. Perbedaan mendasarnya hanya pada kegelisahan mereka. Wibisana menghadapi kegelisahan religius, Kumbakarna menandang kegelisahan pemikiran, dan Karna mengalami kegelisahan karena gelisah saja. Kisah Ramayana adalah sebuah pemaparan konflik yang ditegaskan dengan penajaman konflik tersebut sebagai penyelesaian, sedangkan pada kisah Mahabarata, konflik yang ada diredam dengan dialog pengalihan sempurna. Pengalihan tersebut akan terbaca di dalam dialog Karna-Kunti dan Karna-Kresna (juga Kresna-Arjuna dalam Bhagawadgita). Karna adalah anak muda yang pintar memburamkan masalah sesungguhnya dengan membiuskan argumen sahih layaknya aroma penenang kepada Kunti ibunya, dan Kresna kakak jauhnya itu. Pembelaan mati-matian Karna terhadap Hastina adalah justru dengan terus mengoborkan Bharatayudha sebagai cara cepat membasmi angkara para Korawa. Bahkan itu juga menjadi jalan ia agar selamat mencapai akhirat.

Rasanya kisah tersebut tak begitu jauh dengan kecenderungan gaya nasionalisme generasi baru di sini. Kaum muda yang pintar memperjuangi jalan cinta negeri zonder konflik, yang cerdas menghindar dari kemungkinan pertikaian, dan sekaligus memetik banyak teman. Maka nyaringlah seruan peduli ‘rasa Teh Botol’, rasa minuman yang hampir tak ditolak oleh banyak lidah di Indonesia macam apapun makanannya. Misalnya dengan menyeru bersatu, cinta produksi dalam negeri, ajakan menjaga kesehatan, membantu pendidikan anak miskin, menanam pohon, peduli bencana, dan semacamnya. Kalau toh mau tampak heroik, batas yang diijinkan cukup sampai antikorupsi. Kata kunci dari gerakan tersebut adalah ‘Populis’ alias pesan yang disukai banyak kalangan, tetapi tetap dengan syarat meminimalisasi hadirnya anasir konflik. Baik konflik berupa kelengahan internal seperti kenyataan bahwa Palestina tak cuma Al Fatah, ataupun meminimalisasi kemungkinan konflik dari luar dengan menolak sikap diskriminatif.

Etalase kepedulian nasionalisme beginian, Nasionalisme Virtual, bertumbuh pesat di dunia maya. Dunia yang cukup nyaman dan aman dari benturan, setidaknya secara fisik. Dunia awang-awang di mana terbilang gampang mendapat kawan, sekaligus menentukan lawan— yang juga awang-awang. Ajakan tidak takut oleh Indonesia Unite kepada teroris yang awang-awang amat tampak heroik, tapi ketika Front Pembela Islam (FPI) yang nyata-nyata merusak kafe tidak dianggap teror sebagaimana aksi Nurdin M Top, atau aksi menutup jalanan untuk khotbah Majlis Rasulullah (MR) tidak dianggap gangguan apalagi lawan, ya percuma saja. Saya hanya masih menunggu para periang situs kebangsaan seperti indonesiaunite.com menyikapi sikap makar penganut faham kekhalifahan semacam Hizbut Tahir. Paham kekalifahan yang jelas-tegas berseberangan dengan sikap persatuan kebangsaan umat Indonesia Unite. Atau memang mungkin substansi menjadi tidak penting? Tak apa tul
ang pegal linu, asal kulit tampak pejal bersatu. Biarkan situs lain mengajak makar, asal ikon merah-putih gagah berkibar di setiap wallpaper ataupun avatar.

Niat sederhana bebas konflik mendasar seperti itu, namun disampaikan dengan kerendahan hati, saya temukan di kepakgaruda.wordpress.com, blog yang memberikan wallpaper gratis berisi tokoh-tokoh inspiratif. Tertulis di blog mereka:

“Tak ada harapan khusus yang mendasari pilihan untuk melakukan proyek “Kepak Garuda” ini, sekadar menciptakan keinginan berbagi dan keinginan untuk memberikan sebuah jejak kecil yang tak dalam untuk Indonesia”.

—Kepak Garuda!

Saya juga menemukan situs pejalan Karna yang lain, indonesiabertindak.multiply.com dan hiduplahindonesiaraya.wordpress.com. Keduanya adalah blog yang berisi kampanye kreatif melalui karya grafis. Gagasan utamanya adalah mengembalikan citra positif Indonesia di mata dunia. Sampai sekarang, saya masih kesulitan menemukan citra positif Indonesia itu, tapi sepertinya mereka sudah. Indonesia Bertindak membalas pencitraburukan Indonesia sebagai negeri yang tak layak dikunjungi lantaran terorisme, dengan salah satu karya tenarnya “Travel Warning: Indonesia Dangerously Beautiful“. Pesan yang secara visual biasa saja ini justru menguatkan sisi teksnya. Pesan nan tajam sekaligus ramah kepada pemberi stempel buruk Indonesia, tapi pada saat yang sama seperti melenakan akan siapa lawan sesungguhnya. Teroris lokal doktrinan jiran.

Di sisi lain, Hiduplah Indonesia Raya memarodikan karya tenar Milton Glaser “I Love NY” menjadi “I Love RI” sebagai kampanye visual yang juga turut tenar. Pesan yang diharapkan mampu menyugesti pemakai kaos ataupun pembacanya untuk berpikir positif akan Indonesia, kemudian mencintainya. Tentu tak strategis apabila menambah tulisan “I Hate Bakrie”, karena berpotensi konflik meski korporasi itu mengemplang pajak.

Tak apa, memilih lawan dan memilah persoalan sepertinya telah menjadi semacam garis politik para pejalan Karna. Untuk itu, sebagaimana Kepak Garuda, Indonesia Bertindak dan Hiduplah Indonesia Raya menyatakan hal yang senada:

“Usaha kecil untuk tercapainya sebuah Indonesia yang besar”.

—Indonesia Bertindak

“[…] melakukan tindakan positif dari hal terkecil untuk jayanya Indonesia”.

—Hiduplah Indonesia Raya

Filosofi Basukarna memang satu filosofi yang teraman dari kedua konsep nasionalisme dalam tokoh wayang sebelumnya. Filosofi yang memaknai cinta tanah air sebagai sebuah balas budi, yang bukanlah keterpaksaan berhutang Sang Kumbakarna ataupun pengingkaran ketaatan ala Wibisana. Para Karnais ini dipastikan sudah pasca minta-minta perhatian negara dan tampak lebih suka segera bergerak apa adanya. Dalam hal ini, pernyataan John Fitzgerald Kennedy (JFK), “Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu“, cukup mereka lampaui.

Alih-alih minta diperhatikan, di dalam situsnya mereka jelas-tegas menuliskan sikap independensi dari campurtangan kekuasaan. Mereka seperti menyadari bahwa penguasa justru acap merepoti kreativitas generasi daripada mendukungnya.

Narsisme Maya

Menghindar dari konflik seolah memang sebuah niat baik, namun boleh juga dibaca dengan kacamata sarkastik sebagai sikap cari selamat. Tabiat yang sesungguhnya tak begitu saja akan membuahkan damai. Ibarat hanya memperlama jarak waktu menuju pertikaian sembari menimbun bara dengan sekam, yang tentu saja justru membuatnya semakin berdaya bakar. Di saat yang sama ada generasi di seberangnya yang kini begitu bergairah tikai lantaran tak mendapat arena di era sebelumnya. Generasi yang bara fundamentalisme religiusitasnya ditekuk oleh Orde Baru. Mereka yang bersujud takluk ditekan sepatu tentara, namun sekarang berteriak garang dan tampak dibeking aparat yang sama. Sementara sisa-sisa generasi fasis lama yang terbata-bata memaknai nasionalisme nan perwira, tetap mengibarkan semangat keindonesiaan sambil berhati-hati berbagi teritori dengan kekuatan nasionalis surgawi tadi.

Saya merasa hal itu sebagai pandangan tak berlebihan akan perang dingin’ three partied Basukarna-Wibisana-Kumbakarna, dengan ranah maya sebagai Kurusetra mereka. Memang tak jarang terjadi saling ancam dan caci-maki di sana, namun ketiga jagoan itu berpola sama, berupa laga eksistensi dan menyemi citra diri. Narsisme adu visual dan pamer kemenangan lebih menguasai. Selain itu, yang baru saya sadari adalah potret nasionalisme buram tadi telah coba kembali diolah dalam kamar gelap semangat kekinian dengan cairan pengembang yang berlebihan. Tentu kebrangas, semacam kondisi kulit yang terlalu matang cerah namun isinya masih terasa mentah. Saya tak ingin masuk dalam irisan itu, meski mau-tak mau turut menikmati alur dan arus reriungan mereka. Sebab, sejujurnya saya lebih suka kalimat lanjutan dari kutipan terkenal JFK saat inagurasi pada 20 Januari 1961 itu:

“[…] Jangan tanya apa yang akan Amerika lakukan kepadamu, tapi apa yang bisa kita lakukan bersama untuk kebebasan manusia”.

Barangkali baik adanya mengganti kata “Amerika” itu menjadi “Indonesia”. Tetapi tentunya kata itupun tidak harus menjelma negara. Pada dasarnya “apa yang bisa kita lakukan bersama untuk kebebasan manusia” itulah yang menjadi ketertarikan saya. Saya berharap ‘Kebebasan Manusia’ tersebut mewujud menjadi negeri tanpa batas teritori. Kalau toh ini sebuah utopia, mencari tanpa berharap menemu, tetaplah mengasyikkan adanya. Dengan atau tanpa lawan.

Dirgahayu Kebebasan Manusia!

Jakarta, Agustus 2010

———

Logo PP dan FPI diambil dari Internet sejauh kapasitas resolusi yg terijinkan. Penggunaan ilustrasi seijin pemilik di bawah ini (terima kasih)

http://indonesiabertindak.multiply.com (Travel Warning)

http://kepakgaruda.wordpress.com (logo kepak garuda)

http://hiduplahindonesiaraya.wordpress.com (I Love RI)

This entry was posted in Nasionalisme. Bookmark the permalink.

178 Responses to Mengeja nasionalisme wayang, mengejar narsisme maya

  1. ayanapunya says:

    Wah.travel warningnya keren banget.coba dibikin iklannya ya 🙂

  2. martoart said: Tentu tak strategis apabila menambah tulisan “I Hate Bakrie”, karena berpotensi konflik meski korporasi itu mengemplang pajak.

    Maybe not, but you gotta admit the fun that might come out of it.

  3. zaffara says:

    martoart said: “Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (Nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia”.

    Bisa kasih referensi, negara mana sj yg sdh berhasil mewujudkannya ?

  4. karonkeren says:

    gue lupa pernah ngeliat dimana gitu … entah banner entah stiker … tulisannya ganyang malaysia tapi selamatkan siti nurhaliza … hehehe

  5. ohtrie says:

    No comentTapi ada satu tambahan bahwa bentuk (sok) nasinalisme juga bisa timbul karena sisi kedaerahan lhooo…Masih inget tari pendet..?Sapa tuh saat itu menteri yang koar koar merasa tercuri kebuayaan Indo nya, padhal waktu sebelumnya saat ada isu lain sebagai contoh batik ato angklung dia ma diem2 aja tuhhhh… Basi bwanget duwehhhh…

  6. papahende says:

    Mas Marto, emang poro pinisepuh njowo duwur nalare, iso ngelebur romoyono lan mohobaroto diuwel-uwel diperes dicecep santene. Crito nduwur nek digelar wayang kulit judule opo Mas?

  7. wikan says:

    di malaysia sendiri udah banyak orang indonesia yang kerja di sana, jadi manajemen hotel atau travel. karena mereka orang indonesia, mereka pengin juga menampilkan budaya mereka sendiri yang mereka tahu dari kecil. ya tari-tarian, kayak pendet gitu. terus kalau gitu emang dibilang yang ngambil orang malaysia apa? padahal yang mbawa ke sana juga orang indonesia.

  8. luqmanhakim says:

    Perlu pemahaman tersendiri mencerna tulisan Mas Marto dengan membuat analogi visual tokoh wayang yang disebut. Akhirnya paparan semiotik dengan analogi wayang bisa sangat diterjemahkan harfiah oleh pembaca. Aku malah nunggu bahasan Dorna juga Bisma, nggak dimasukkan di tulisan ini. Padahal itu paparan yang banyak lekat dengan masyarakat sekarang…

  9. wikan said: terus kalau gitu emang dibilang yang ngambil orang malaysia apa? padahal yang mbawa ke sana juga orang indonesia.

    Well, my ancestors brought the dragon & lion dance into Indonesia and their descendants have been performing the dance here for centuries, yet Indonesia never claims them as Indonesian original culture.

  10. zaffara says:

    martoart said: berharap ‘Kebebasan Manusia’ tersebut mewujud menjadi negeri tanpa batas teritori

    kebebasan manusia dari penjajahan nafsunya sendiri dan manusia lainnya. Great posting 🙂

  11. nitafebri says:

    mengamati dulu. Sampe ada yg ngartiin apa maksud tulisan ini.Udah baca dari tadi siang n bolak balik, tp msh blank

  12. fairdkun says:

    marto,udah ada suara protes blom dateng ke lo sebagai penulis? [hobi memancing di air keruh lagi kumat…]

  13. rirhikyu says:

    duh panjang bgt.*ntar baca ulang dech

  14. sepunten says:

    beruntung masih ada rasa nasionalisme mengalir (diberbagai media, termasuk artikel ini tentunya), mesiki aliranya kalah besar dibanding hisapan penadah-penadah (kekayaan RI) yg mengatasnamakan pengurus…

  15. erwinprima says:

    belajar dimana sih bisa nulis kaya gini??(artikel ini udah ay link juga di fb ay, biartambah banyak yang baca..)

  16. karonkeren says:

    fairdkun said: marto,udah ada suara protes blom dateng ke lo sebagai penulis? [hobi memancing di air keruh lagi kumat…]

    marto lagi mendalang rid … ditanggap sana sini buat acara 17an dan nanti lebaran …. hehehe

  17. t4mp4h says:

    wayang berkiblat ke ngamerika hahahahaha

  18. inyong says:

    udah bakat jadi penulis pidatonya bapak jambul

  19. agamfat says:

    Ini seperti demam para penyanyi cinta yg membuat lagu agamis (artinya bukan pengikut agam ya). Mereka tiap hari nyanyi lagu cinta, metal, mellow total. Untuk kepentingan mempertahankan pasar Ramadan, mereka bikin lagu puji-pujian kepada Tuhan. Apa isinya? Puji-pujian, dan lupa bahwa Tuhan tak butuh dipuji, tapi manusia butuh makan, kebenaran kudu ditegakkan. Sebegitu banyak orang terpaksa memulung, mengemis, bom elpiji, dsb, persoalan sosial lainnya, sebegitu dilupakannnya. Jadi ingat Gombloh yg selalu menyanyikan keadaan orang miskin, mereka yg bekerja keras, sambil melafalkan nama Tuhan. Lagu-lagu nasionalisme Gombloh tak terkira banyaknya, semua bermuara bahwa nasionalisme itu harus membawa kesejahteraan bagi juru mino, tukang becak, pengemis, dsb

  20. debapirez says:

    Wah…berasa belajar sejarah neh.

  21. martoart says:

    ayanapunya said: ravel warningnya keren banget.

    Yup, itu karya visual yang saya pinjam. Udah ada linknya, silakan datangi. Ada akun MPnya kok.

  22. martoart says:

    yashartaholic said: but you gotta admit the fun that might come out of it

    semacem mencuri gak ngawaki gitu deh hehehe

  23. martoart says:

    zaffara said: negara mana sj yg sdh berhasil mewujudkannya ?

    Setahu saya, belum pernah ada bangsa yang secara total berhasil mewujudkan cita2 kebangsaan dan kenegaraan berdasar ideologi yg dianut mereka. Termasuk Nasionalisme. Kalau berdasarkan kesejahteraan rakyat, paham sosialisme demokrat di negeri2 Skandinavia adalah yang lumayan paling berhasil di antara banyak ideologi.

  24. martoart says:

    karonkeren said: tulisannya ganyang malaysia tapi selamatkan siti nurhaliza … hehehe

    Kekekeke… Nurhalizalisme bro. Dimaafkeun ya…

  25. martoart says:

    wikan said: dirgahayu mas

    Dirgahayu.

  26. martoart says:

    ohtrie said: juga bisa timbul karena sisi kedaerahan lhooo…

    Ketergelinciran bisa dari mana saja. Jadinya Nasionalisme sempit (chauvinistik) ataupun yang memuja kelompok (sektarianis), juga asal adat moyang (primordialistik) dst…

  27. martoart says:

    papahende said: Crito nduwur nek digelar wayang kulit judule opo Mas?

    Semar Mbangun Khayalan

  28. martoart says:

    luqmanhakim said: Aku malah nunggu bahasan Dorna juga Bisma, nggak dimasukkan di tulisan ini. Padahal itu paparan yang banyak lekat dengan masyarakat sekarang…

    Terima kasih masukannya Man. Soal Dorna dan Bisma, aku rasa sedikit susah untuk dipertempelkan ke pembahasan Nasionalisme. Bisa sih, tapi ketiga tokoh yang aku pilih amat lekat dengan kejiwaan pemuda (dan beberapa alasan lain). Dan aku belum pelajari lebih intens ke dua tokoh tua Mahabharata tersebut. Aku bayangkan Edwinlives4ever akan membahasnya. Gagak satu itu tahu banyak soal wayang dan kronikanya.

  29. martoart says:

    zaffara said: kebebasan manusia dari penjajahan nafsunya sendiri dan manusia lainnya.

    Ho oh.

  30. martoart says:

    nitafebri said: Sampe ada yg ngartiin apa maksud tulisan ini

    Di awal tulisan (prolog, ada link yang sudah diartikan). coba diklik, wakakkaa…

  31. martoart says:

    fairdkun said: udah ada suara protes blom dateng ke lo sebagai penulis?

    Tinggal bilang; “Tanggung Jawab Tulisan Ada Pada Redaksi!” Wakakkaakaa…

  32. martoart says:

    rirhikyu said: duh panjang bgt.

    Emang bukan FF Feb. 🙂

  33. martoart says:

    sepunten said: beruntung masih ada rasa nasionalisme mengalir

    mmm masih nyari

  34. martoart says:

    erwinprima said: belajar dimana sih bisa nulis

    Nyuri2 terbitan PLUZ+ Om!

  35. martoart says:

    t4mp4h said: wayang berkiblat ke ngamerika

    Ngamerikadiraja

  36. martoart says:

    inyong said: pidatonya bapak jambul

    Mending pidatonya Wak Kaji ajah

  37. martoart says:

    debapirez said: .berasa belajar sejarah neh.

    Belajar sejarah enak loh kalo lewat jalan beda..

  38. martoart says:

    Wikan n Edwin, Aku selalu bingung dengan Nasionalisme yang dilekatkan ke produk budaya. Hampir setiap membicarakan nasionalisme, selalu mengarah ke sana (tapi gimana lagi, emang magnetnya lebih besar juga sih). Ini agak sepadan dengan membicarakan Moralitas, yang selalu lebih dilekatkan ke Susila. Ok, aku sebenarnya sudah pernah menulis ttg nasionalisme itu, di sini: http://martoart.multiply.com/journal/item/15/Jangan_Cepat_Lupa_Ganyang_Malaysia

  39. martoart says:

    agamfat said: Untuk kepentingan mempertahankan pasar Ramadan, mereka bikin lagu puji-pujian kepada Tuhan. Apa isinya?

  40. inyong says:

    aku yo gelem yen kok gambang nurhaliza

  41. debapirez says:

    Ayo Cak, posting sejarah lainnya dengan gaya-mu.

  42. rasikiniin says:

    martoart said: Kabar ‘baiknya’, paham semacam ini telah melampaui semangat ketaatan ala Kumbakarna yang terkungkung oleh batasan teritori negeri. Seperti misalnya para pejalan Wahab ini tak pernah terusik oleh perebutan tari pendet atau paten batik. Mereka tak tergerak oleh ajakan pengganyangan Malaysia atau Korea yang mencuri ikan Indonesia. Budaya dan kekayaan alam hanyalah sementara, dan bukan urusan mereka apabila dicuri oleh sesiapa. Konsep persaudaraan hanya berlaku dalam keyakinan langit, dalam iman yang sama. Solidaritas dan kepedulian mereka baru bangkit ketika Israel melahap Palestina misalnya. Bukan sebuah solidaritas kemanusiaan yang meranggas di sini, namun lebih kepada Palestina sebagai representasi Islam. Solidaritas persaudaraan sesama iman.

    1. Masalah apapun yang terkait dengan negeri dan bangsa ini, orang/kelompok ‘wahab’ (begitu menurut anda)itu tentusaja merasa terusik dan peduli. Yang perlu dipahami oleh anda adalah bahwa organisasi yang mereka jalankan telah menentukan garis-garis prioritas (skala prioritas). Jadi mungkin ada yang (dalam pengetahuan anda) mengedepan dan ada yang (dalam pengetahuan anda) tak mengemuka.2. Kalau yang anda contohkan adalah wahabi, maka silakan koreksi lagi tentang prioritas wahabi terhadap perjuangan palestina. Karna yang memiliki prioritas kepedulian terhadap palestina adalah (yang mengemuka dipentas nasional) “Partai Keadilan Sejahtera.”. Bgm……..?

  43. cenilhippie says:

    another great post…baru kali ini aku suka baca sejarah…….:)aku link ya mas…

  44. martoart says:

    rasikiniin said: Yang perlu dipahami oleh anda adalah bahwa organisasi yang mereka jalankan telah menentukan garis-garis prioritas (skala prioritas). Jadi mungkin ada yang (dalam pengetahuan anda) mengedepan dan ada yang (dalam pengetahuan anda) tak mengemuka.

    Anda benar dalam hal ini, dan sesungguhnya justru mendukung tulisan saya. Prioritas Wahabiyin menjadi penting adanya dalam konteks bernasionalisme tulisan ini. Tapi saya percaya niat Anda memang tidak berniat menggugurkan tulisan ini. semoga yang saya tebak benar adanya.

  45. martoart says:

    rasikiniin said: maka silakan koreksi lagi tentang prioritas wahabi terhadap perjuangan palestina.

    Sekali lagi salut atas kejelian Anda, Hanya saja memang riwayat Wahabiyin dan prioritasnya amat kompleks. Dalam tulisan nasionalisme ini sengaja pernik sederhana saja yang saya singgung. Terlebih Wahabiyin telah menjadi semacam faham dalam perkembangannya. Seperti halnya -mungkin contoh yg agak tegesa2- bahwa nahdliyin bisa aja berkelindan di kelompok tenggulun.

  46. martoart says:

    cenilhippie said: aku link ya

    Sila jeng… n trims

  47. ichamary says:

    Ulasan sejarah yg keren mbah, and apakah anda termasuh salahs atu dari ke-3 itu ?:D

  48. martoart says:

    ichamary said: apakah anda termasuh salahs atu dari ke-3 itu ?:D

    Wakakakakaka…. question of the day!Meski ga perlu ditanya sih, sebab di bagian akhir terbaca begini: Pada dasarnya “apa yang bisa kita lakukan bersama untuk kebebasan manusia” itulah yang menjadi ketertarikan saya. Saya berharap ‘Kebebasan Manusia’ tersebut mewujud menjadi negeri tanpa batas teritori.

  49. rasikiniin says:

    martoart said: saya percaya niat Anda memang tidak berniat menggugurkan tulisan ini. semoga yang saya tebak benar adanya.

    Ya…..benar,……..dua jempol buat Mas Marto….

  50. rasikiniin says:

    martoart said: memang riwayat Wahabiyin dan prioritasnya amat kompleks. Dalam tulisan nasionalisme ini sengaja pernik sederhana saja yang saya singgung. Terlebih Wahabiyin telah menjadi semacam faham dalam perkembangannya. Seperti halnya -mungkin contoh yg agar tegesa2- bahwa nahdliyin bisa aja berkelindan di kelompok tenggulun.

    Sekali lagi penjelasan anda jempolan…..

  51. rawins says:

    aku nunggu cerita tentang anoman, anila dan anggodo. ditambah anggoro juga boleh. tapi susno gausah deh…

  52. inyong says:

    aku aku ***anangtone pengin kaos yg iloveu RI dijual dimana ya

  53. martoart says:

    tuh, ceklik aja link yg gw kasih Wak Kaji.

  54. apakatana says:

    walah mas papa…kena roaming nih…^.^jadi inget isi Sumpah pemuda…Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

  55. apakatana says:

    martoart said: “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”

    Ini cinta kalo terlalu membabi buta bara’nya…yang ada jadinya malah kebanyakan perang mulut, kalo ga debat kusir, kalo ga berlomba2 siapa yang paling kreatip buat bahasa ‘kotor’ … *baru habis liat thread di youtube n kaskus, banyak orang indo n malay yang lagi PANAS pak cintanya*

  56. martoart says:

    apakatana said: Ini cinta kalo terlalu membabi buta bara’nya…

    akan menjadi ultra nasionalis ataupun cauvinis, menjadi karna atau semakin parah… Kumbakarna .

  57. martoart says:

    apakatana said: papa…kena roaming nih..

    He.. he.. semoga dia denger, dan menerjemahkannya untukmu.

  58. terlahirlagi says:

    kang marto..saya ijin share ya..

  59. martoart says:

    terlahirlagi said: ijin share ya..

    Sila.FB ya? hehehe…

  60. afemaleguest says:

    aku membaca “komik” RAMAYANA waktu masih duduk di bangku SD, yang memang sengaja diterbitkan utk konsumsi anak2, ga njlimet, tapi kayaknya memang begitulah sifat Kumbakarna dan Wibisana.namun karena sudah ‘disodorkan’ bahwa Rama adalah tokoh protagonis dan Rahwana antagonis sejak awal, maka apa pun yg dilakukan Kumbakarna dan Wibisana benar adanya, apa pun latar belakangnya.very nice analogy dengan tipe2 anak muda sekarang dengan pemahaman nasionalisme masing2.:)

  61. martoart says:

    afemaleguest said: very nice analogy

    Tararengkiyu. Mungkin dirimu lebih mudah baca yg versi ini?http://www.karbonjournal.org/en/article/spelling-out-wayang-nationalism-pursuing-virtual-narcissism(Jangan takut gak dibilang Nasionalis. he he)

  62. afemaleguest says:

    dibilang ga nasionalis juga gapapa ah:pthanks 4 d link

  63. afemaleguest says:

    ur English ciamik tuh Kang!:~d

  64. martoart says:

    afemaleguest said: ur English ciamik tuh Kang!:~d

    HA HA HA… orang laen tuh yg nginggrisin!

  65. karonkeren says:

    martoart said: HA HA HA… orang laen tuh yg nginggrisin!

    tampang kayak gini nginggrisin … hihihi*kaburrrrrrrrr

  66. martoart says:

    karonkeren said: tampang kayak gini nginggrisin

    nyang penting ‘bahasa tubuh’ choy. hihhihi…

  67. anotherorion says:

    weh mantep langsung mbahas telu, aku meh mbahas karna kokean kang, siji sik ae 😀

  68. jatiagung says:

    kapan goro gorone ki….?

  69. wayanlessy says:

    martoart said: Karna mengalami kegelisahan karena gelisah saja

    hmm…

  70. martoart says:

    wayanlessy said: hmm…

    kenapa? ikut gelisah?

  71. jadul1972 says:

    wah ternyata sampeyan ngambil sudut pandang yang berbeda cak heheheheSalut dan angkat topi dengan tulisan berbobot ini, meskipun saya tidak begitu sepaham dengan contoh Gunawan Wibisana, akan tetapi tidak perlu untuk diperdebatkan, karena angle yang berbeda akan mendapatkan kesimpulan yang berbeda pula.Salam Budaya

  72. martoart says:

    jadul1972 said: saya tidak begitu sepaham dengan contoh Gunawan Wibisana, akan tetapi tidak perlu untuk diperdebatkan

    kenapa nggak? atau kenapa bernggapan Wibisono can’t do no wrong?

  73. jadul1972 says:

    martoart said: kenapa nggak? atau kenapa bernggapan Wibisono can’t do no wrong?

    Hahahahahaaaa, rebutan bener adalah hal yang saya hindariMemang tokoh pewayangan sama halnya manusia memiliki sisi buruk dan sisi baik. Sah sah saja mau mengambil sisi mana untuk di angkat….Yang harus hati-hati adalah efek bagi pembaca, dengan kita mengangkat hanya sisi jelek tanpa diimbangi sisi baik akan merubah mindset bahwa tokoh tersebut ternyata jelek..

  74. martoart says:

    jadul1972 said: rebutan bener

    kenapa suka banget pake istilah ‘rebutan’? ingin memosisikan lawan sebagai tukang rebut? nggak kan? gak ada yg rebutan dalam berdialektika. Jangan takut berdebat. ini untuk banyak orang.

  75. martoart says:

    jadul1972 said: Yang harus hati-hati adalah efek bagi pembaca,

    Efeknya adalah pembaca juga tak terdogma dalam satu pemahaman main stream. Agar tak mengkultuskan seorang tokoh pujaan. Yang terjadi sekarang, terlalu baiknya sifat sang tokoh tanpa diimbangi analisa sifat buruknya. Maka saatnya ada DalangLeaks yng membocorkan citra terlalu baik mereka.Jadi tak perlu hati2. kehati-hatian biar jadi milik para orang tua saja

  76. afemaleguest says:

    martoart said: Jangan takut berdebat. ini untuk banyak orang.

    Kang Marto memang a debate freak!xixixixixixi …

  77. afemaleguest says:

    martoart said: Jadi tak perlu hati2. kehati-hatian biar jadi milik para orang tua saja

    para orang tua perlu hati-hati untuk siapa Kang? dan mengapa?^_^

  78. martoart says:

    afemaleguest said: para orang tua perlu hati-hati untuk siapa Kang? dan mengapa?^_^

    pertanyaan seorang debate freak ya ini? he he…

  79. afemaleguest says:

    noooooooooo …I am not a freak like you!!!hahahaha …

  80. jadul1972 says:

    martoart said: Jangan takut berdebat. ini untuk banyak orang

    Ya sudahlah cak… Silahkan saja pendapat panjenengan yang betulNyuwun sewu kulo pamit mundur

  81. martoart says:

    jadul1972 said: Silahkan saja pendapat panjenengan yang betul

    ???

  82. afemaleguest says:

    ???*kecewa, berharap membaca opini lebih banyak* T_T

  83. martoart says:

    afemaleguest said: kecewa

    kes-klosed. kalo belum puas, ntar kite mojok sendiri ajah. he he..

  84. afemaleguest says:

    asssiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkk …wink wink …

  85. damuhbening says:

    martoart said: Wibisana yakin Sang Titisan Wisnu itu “Can do no wrong”,

    di nasakah yang mana bisa kutemukan pernyataan Wibisana serupa ini? bisa bantu???

  86. martoart says:

    damuhbening said: di nasakah yang mana bisa kutemukan pernyataan Wibisana serupa ini? bisa bantu???

    maksudnya gimana?

  87. wayanlessy says:

    mungkin maksud bli Dewa adalah, referensi yg menjadi dasar Cak Marto menyimpulkan bahwa Wibisana punya keyakinan taklid tersebut terhadap Rama sang titisan Wisnu.

  88. martoart says:

    oh, itu pembacaan dari kekisah yg ada bro n sist. Mengacunya juga dari kisah yg ada. Menganalisanya dan memaknai dari sisi berbeda. Hal yg biasa dilakukan oleh para dalang sehingga fisafat wayang menjadi kaya dan gak jumud.

  89. wayanlessy says:

    martoart said: Hal yg biasa dilakukan oleh para dalang sehingga fisafat wayang menjadi kaya dan gak jumud.

    dan awakmu adalah dalang yg super unik, cak! ^_^

  90. martoart says:

    wayanlessy said: awakmu adalah dalang yg super unik

    dalang kerusuhan. kekeke…

  91. wayanlessy says:

    martoart said: dalang kerusuhan. kekeke…

    😛

  92. ohtrie says:

    martoart said: dalang kerusuhan. kekeke…

    pengakuan tulus…. 😀

  93. damuhbening says:

    martoart said: maksudnya gimana?

    ya wis lah, mungkin aku yang gak paham dari makna tulisanmu, maklum aku gak bisa bahasa inggris..hehehe…jadi lupakan dulu yang ini:Untuk urusan Rama diyakini sebagai Wisnu oleh Wibhisana itu jelas adanya, terbaca dari semua naskah ayng pernah ada dan pernah kubaca juga.maaf aku sedang terbata-bata mebaca tulisanmu ini, karena banyak remah yang tidak kutemukan serihannya ada di mana, jadi aku terpaksa bertanya, bertaut dengan pola setapak demi setapak, agar tidak ada persepsi yang tidak bertaut diantara kita.[ngombe kopi sik]

  94. damuhbening says:

    martoart said: Wibisana, yang barangkali jenis anak muda yang terlalu rajin menekuri ajaran kebijakan, akhirnya menggariskan bahwa konsep identitas bersama dalam nasionalisme tidak penting, melainkan kebenaran hakikilah yang harus ditegakkan.

    apa salahnya dengan kondisi ini?lantas:”Wibisana merasa kebenaran hakiki itu berada di pihak Rama, lawan dari kakaknya sendiri, Rahwana. Tanpa sepenuhnya tahu atau memang tak mau tahu sejarah Kosala, dunia politik Ayodhya, biografi Rama, ajaran kitabnya, dan konflik filosofis yang ada, Wibisana menyeberang. Dia melangkah tanpa tengok kiri-kanan, hijrah dengan ketaqlidan kepada Rama.”:benarkan demikian adanya? darimana cak Marto bisa menterjemahlah hal serupa? Aku belum pernah menemukan naskahnya [lagi-lagi aku bukan dalang, jadi gak bisa membuat carangan]apalagi kemudian jika meneruskan pada pernyataan ini:”Jalan Wibisana adalah jalan yang belakangan ini ditapaki beberapa kaum muda Indonesia menuju Janah. Mereka yang melepaskan pakaian nasional lantas mengenakan jubah radikal. Kaum muda yang tak butuh konsep identitas kebersamaan, melainkan meyakini anugerah kebenaran langit. Jalan itu semakin meyakinkan, terlebih karena konsep kebersamaan keindonesiaan dipandang sebagai sebuah ketertatihan, sedangkan kebenaran langit bersifat tunggal lagi berpahala.Seperti halnya Wibisana yang meyakini jalannya benar, begitu pula radikalis surgawi saat ini. Wibisana, dan Wahabi di sini. Ya, Wahabi, sekte dalam Islam ini cukup layak sebagai contoh untuk dilekatkan dengan paham kebenaran anutan Wibisana. Keduanya berada di ranah sama yang bernama “Keyakinan”. Di mana di sana tidak ada yang namanya ’Benar‘ atau ’Salah‘, yang ada hanya ’Yakin Benar‘ dan ’Yakin Salah‘. Wibisana yakin Sang Titisan Wisnu itu “Can do no wrong”, setara Wahabi yang percaya Syariah Allah tak pernah salah. Keyakinan para ultra kanan di belahan dunia yang acap serupa, En Dios Confiamos; In God we Trust”apalagi kalau kemudian mensejajarkan keputusan Wibisana dengan kondisi ini, aku jadi makin gak menemukan tautannya.namun sebelum berpanjang, apakah kelompok ini yang cak Marto masudkan adalah kelompok yang lambangnya Cak Marto sertakan disamping pernyataanmu tersebut? jika benar, bagaimana Cak Marto bisa mensejajarkan pemahaman Wibhisana dengan kepahaman mereka?

  95. karonkeren says:

    damuhbening said: apa salahnya dengan kondisi ini?

    Jelas teramat sangat SALAHsilakan renungi sendiri alasannya karena kebenaran hakiki hanya milik TUHAN

  96. damuhbening says:

    karonkeren said: Jelas teramat sangat SALAHsilakan renungi sendiri alasannya karena kebenaran hakiki hanya milik TUHAN

    bukankah dalam tulisan itu Wibisana menekankan pada kebenaran HAKIKI? apa yang penjenengan maknai dengan KEHAKIKIAN tidak sama dengan kebenaran TUHAN?

  97. ohtrie says:

    damuhbening said martoart saidWibisana, yang barangkali jenis anak muda yang terlalu rajin menekuri ajaran kebijakan, akhirnya menggariskan bahwa konsep identitas bersama dalam nasionalisme tidak penting, melainkan kebenaran hakikilah yang harus ditegakkan. apa salahnya dengan kondisi ini?Ikut nimbrung ya Bliii, mBahh….Mungkin kalo aku bisa cerna dari kalimat perkalimat itu tak jauh dari bentuk kebersamaan ya Blii… Senada dengan ungkapan bahwa “1 profesor Jepang bisa saja kalah dengan 1 profesor Amrik, namun 10 profesor Amrik akan sangat susah mengalahkan 10 profesor Jepang.”Konteks diatas jangan diambil pada point satu profesornya yaa….!!! Oleh mBah Marto Wibisana disana dijelaskan bahwa kebersamaan (identitas bersama) itu tak begitu penting dan akan dinomor duakan tatkala pada waktu bersamaan harus dihadapkan pada penegakan kebenaran hakiki. Nah ungkapan satirisnya adalah berbalik lagi pada unsur kebijakan yang sedang ditekuri Wibisana tersebut. Bukankah seharusnya kebijakan itu mampu dicapai bukan atas dasar satu subyektifitas (pribadi) semata..? Sebagaimana kebenaran hakikinya Wibisana itu…? Secara pribadi saya lebih cenderung menilai satu kebenaran itu bertingkat, pada diri yang bijak kebenaran tak bisa dihadapkan sesuai itungan matematis ataupun tehnis bahwa lima kali lima sama dengan duapuluh lima, ato lebih tepatnya saya bilang “satu pertanyaan bukan hanya ada satu jawaban..!” [karena tak semua pertanyaan pun butuh jawaban (verbal) }So menyangkut pertanyaan Bli Dewa mengenai “apa salahnya dengan kondisi ini?” terus terang sayapun tak mau gegabah menyalahkan apalagi mempersalahkannya. Hanya saja dalam pengkodisian seperti ini sekalilagi secara pribadi saya bepikir “Usaha memahami cara menyelesaiakan masalah berkehidupan, beragama, pun bersosial-masyarakat tidaklah dapat disandarkan pada satu kebenaran (hakiki) HANYA sebagai ukuran tunggal..!!! Ini tanggapan pribadi saya menyangkut quotation paling atas Bli Dewa yaaa.. Untuk quot selanjutnya maaf saya tak ada cukup argumentasi guna menanggapinya apalagi jika ditanya tentang bukti outentik berujud ‘naskah’ hemmm….. :)tengs eniwe nden… 😀

  98. damuhbening says:

    ohtrie said: Hanya saja dalam pengkodisian seperti ini sekalilagi secara pribadi saya bepikir “Usaha memahami cara menyelesaiakan masalah berkehidupan, beragama, pun bersosial-masyarakat tidaklah dapat disandarkan pada satu kebenaran (hakiki) HANYA sebagai ukuran tunggal..!!!

    lantas jika demikian: apa sebaiknya yang jadi ukuran ataupun tolak ukurnya? coba diuraikan dengan gamblang…

  99. ohtrie says:

    damuhbening said: lantas jika demikian: apa sebaiknya yang jadi ukuran ataupun tolak ukurnya? coba diuraikan dengan gamblang…

    WISDOM….Saya yaqin disana ada kecenderungan lebih besar pada pengkodisian “kebersamaan” yang artinya itu tak hanya sakleg pada subyektivitas pembenaran pribadi.Walau saya menyebutnya dengan tegas dan berhuruf kapital, namun tenang aja Bliii, saya nggak mencla-mencle kokkk, karena masih konsekuen menjaga argumentasi awal bahwa hal itu sama sekali tetap bukan ukuran tunggal , melainkan saya memposisikan itu ada pada barisan terdepan. So, hal kebenaran yang bukan sebagai ukuran tunggal, artinya sama sekali bukan mau meniadakan kebenaran itu sendiri Blii…! Semua masih saling berdampingan baik kebijakan (wise, wisdom) pun kebenaran, inilah bagian yang saya sebut sebagai kebenaran bertingkat, selain tentu masih ada lain hal yang menjadikannya pada posisi bertingkat dilain tempat…*nyruput teh sik* 😀

  100. martoart says:

    damuhbening said: Untuk urusan Rama diyakini sebagai Wisnu oleh Wibhisana itu jelas adanya

    Tak ada yang menyangkal ini.

  101. karonkeren says:

    damuhbening said: bukankah dalam tulisan itu Wibisana menekankan pada kebenaran HAKIKI? apa yang penjenengan maknai dengan KEHAKIKIAN tidak sama dengan kebenaran TUHAN?

    kebenaran hakiki memang kebenaran Tuhan dan itu sempurna … namun manusia adalah makhluk yang tidak sempurna sehingga penafsiran terhadap kebenaran hakiki tidak akan pernah sempurna … apalagi memaksakan ajaran kebenaran hakiki berdasar penafsirannya itu kepada manusia lain … jelas itu sangat salah buat sayadan maaf saya tidak pernah tertarik kepada kebenaran hakiki dan wayangisme

  102. damuhbening says:

    karonkeren said: maaf saya tidak pernah tertarik kepada kebenaran hakiki dan wayangisme

    baiklah, jika ini pernyataan sikapnya, maka diskusi kita tutup, karena gak berguna lagi: akupun tidak pernah memulainya…..salam damai

  103. ohtrie says:

    martoart said: Aseeeeekkk….

    asik apaneee…???ra maringi suguhan we asyikk….

  104. ohtrie says:

    damuhbening said: salam damai

    heh…malah nglicir lungaaa… durung mbayarrrrrrr….!!!

  105. damuhbening says:

    kasire isih turu mas,jadi mengabadikan tradisi colong playu…hahahaha

  106. damuhbening says:

    melu nutuk mejo, eh..ngebrak mejo ding!!!hahaaha

  107. ohtrie says:

    damuhbening said: kasire isih turu mas,jadi mengabadikan tradisi colong playu…hahahaha

    aishhh, mung alesan meh tinggal glanggang ik…!!nyathet nang bukuu…!!!

  108. ohtrie says:

    damuhbening said: melu nutuk mejo, eh..ngebrak mejo ding!!!hahaaha

    opppsss,ora parenggg…. didukani Pak Lurah Marto nek mengutamakan kekerasan lhooo…mBah Martyo khan sukanya kekenyalan, bukan kekerasan Blii….!!! :))

  109. damuhbening says:

    ohtrie said: aishhh, mung alesan meh tinggal glanggang ik…!!nyathet nang bukuu…!!!

    hahahaha….ati-ati bukune rusak teremndam akibat bocornya atas bangunan….

  110. martoart says:

    Kenapa sayabilang aseeek? karena bangun pagi sekali, baca diskusi, dan merasa MP ‘hidup’ lagi.@ Damuh. Sekali lagi, ini pembacaan dan pemaknaan saya dari kekisah yg ada. Dan ini bukan hal baru. Tak perlu juga sensitif religi akan hal ini. Melihat geng ayodya sebagai aneksator pun juga pemahaman klasik bagi orang Srilangka. Di situ Rama dicerca dan Rahwana dipuja. Bukan berdasar agama melainkan sikap nasionalisme.Mirip dengan di Blambangan yg lebih mengangap Dhamarwulan sebagai bandit dan Minak Jinggo sebagai pahlawan.Wayang adalah karya yang sedemikian lama mentradisi sebagai media perjuangan. Oleh siapapun. Era Islam datang, dia dipake buat dakwah, dan beberapa sunan memberi pemaknaan bahkan mencarang sequelnya. Jaman revolusi fisik, Sukarno juga pake ini juga Soeharto di masa Orba. Dst…Apa salahnya dengan kondisi ini? Saya mencomot Wibisana untuk memetafora organisasi FPI tentunya untuk similarisasi sikap ‘penyebrangannya’, bukan harafiah pilihan agamanya. itulah kenapa sebaiknya melihat ini dengan melepaskan sensitifitas agama. Organisasi agama yg ada adalah karena kebetulan (kebetulan?), mereka yang melakukan ‘penyeberangan’ berdasar dogma yang menaqlidkan.Tulisan itu sebenarnya cukup jelas, dan wayang (figur wayang pun) itu sah dipake tanpa menyertakan agama dalam KTP mereka.@Karon, Jancukan koen! Udah seneng diskusi ngalir, eh elu matiin dengan ga pernah tertarik dengan wayangisme. Ayo, balik sini lagi bro!@ Gotrex, ttg kebijakan dan ‘kebenaran tunggal’, ini lumayan seru kalau kamu, Karon, n Damuh lingkari lagi, dipetakan. Tak harus ketemu apa sesungguhnya itu (kalo ketemu gak asyik).

  111. ohtrie says:

    martoart said: Kenapa sayabilang aseeek? karena bangun pagi sekali, baca diskusi, dan merasa MP ‘hidup’ lagi.

    tapi dirumah sebelah yang mbahas sperma gak asyik ahhh… ada standar ganda disana (lawan discuss sampean), tolong diarahkan duwongg biar kita juga makin pinterasyik masyuknyahhhRekuwes gratis taa..?

  112. ohtrie says:

    martoart said: @Karon, Jancukan koen! Udah seneng diskusi ngalir, eh elu matiin dengan ga pernah tertarik dengan wayangisme. Ayo, balik sini lagi bro!

    ANdre gi lagi PMS,mertamu nang HoR ra mbok suguhi jee….

  113. ohtrie says:

    martoart said: @ Gotrex, ttg kebijakan dan ‘kebenaran tunggal’, ini lumayan seru kalau kamu, Karon, n Damuh lingkari lagi, dipetakan. Tak harus ketemu apa sesungguhnya itu (kalo ketemu gak asyik).

    aishhh nek iki rak mung rekuwes…tapi wis menuju tingkat demanding……nang lapak dhewe, nanggappp, njalukan, rak maringi suguhan, ngelak aku mBahhh……!!! *mrengut ngajak Bli Dewa*

  114. martoart says:

    ohtrie said: dirumah sebelah yang mbahas sperma gak asyik ah

    Situ OOT deh kak, urusan rumah sebelah biar tak adepi.

  115. martoart says:

    ohtrie said: ngelak aku mBahhh……!!! *mrengut ngajak Bli Dewa

    Rene wong telu tak masakne sega panas, sambel terong, n scotch whiskey

  116. afemaleguest says:

    nunut mringis aaahhhh …:-D

  117. karonkeren says:

    ya abis gimana lagi to … emang gua sih gak doyan wayang, walo tulisan wayang versi elu lebih enak dipahami ketimbang dari buku buku yang bikin gue pusing … hihihihibtw … gue lagi seru seruan diskusi di fesbuk nih … kampret tuh pengikut pengikut fpi … hehe

  118. martoart says:

    karonkeren said: gue lagi seru seruan diskusi di fesbuk nih … kampret tuh pengikut pengikut fpi …

    Lu jangan provokasi gw agar bikin fesbuk deh.. plis…MP juga mulai seru nih…asiiik..

  119. karonkeren says:

    martoart said: Lu jangan provokasi gw agar bikin fesbuk deh.. plis…MP juga mulai seru nih…asiiik..

    nggaaaa … gue gak ngomporin elu biar bikin fesbuk kok … heheheyang jelas lucu juga sih to, yg bikin statement soal musik underground vs fpi ternyata gak cuman gue … hihihihidah ah … gue balik lagi bentar ke fb … procastinating sebelum balik kos … hahahaha

  120. martoart says:

    karonkeren said: gue balik lagi bentar ke fb .

    selamat berjuang bro… *Melambaikan sapu tangan jambon.

  121. wayanlessy says:

    ohtrie said: tapi dirumah sebelah yang mbahas sperma gak asyik ahhh… ada standar ganda disana (lawan discuss sampean), tolong diarahkan duwongg biar kita juga makin pinterasyik masyuknyahhhRekuwes gratis taa..?

    Ehem…omahku wis dedel duwel yo? Wit mau isuk mung iso nginceng mp nganggo hp je…. ndadhak nek aku lungo malah rame..nek ngono tak tinggal terus wae yo, tak titipno konco konco hehe..

  122. wayanlessy says:

    martoart said: selamat berjuang bro… *Melambaikan sapu tangan jambon.

    Jambon ini warna kesukaanmu, cak?Opo mung mergo asline putih tapi kelunturan?

  123. ohtrie says:

    martoart said: Rene wong telu tak masakne sega panas, sambel terong, n scotch whiskey

    Ya TUhannnnn….tubat mBah tubatttttt……… itu minuman gak dikasih lebel halalan wa toyiban ama MUI…..!!!!!*lagian sambel terong kok ngombene wedang galak taaa….. *ngakak akuuuuu :))

  124. ohtrie says:

    wayanlessy said: Ehem…omahku wis dedel duwel yo? Wit mau isuk mung iso nginceng mp nganggo hp je…. ndadhak nek aku lungo malah rame..nek ngono tak tinggal terus wae yo, tak titipno konco konco hehe..

    dhedhel dhuwel sih enggak mBakk…mung arah diskusine agak beda n nyimpang dari parameter awal, dan di indikasikan ada semacam penjurusan ke arah tertentu, hihihii *sok kek intelijen* (ketambahan meneh mbulet pertanyaane)Padhal intinya elum mengena lho itu mBooo… Kuliat mBah Marto malah justru belum menyentuh point utamanya lhooo… Iya nggak mBah…?? dan sepertinya bakal banyak argumen kalo masih berlanjut…..Tapi entahlah, bakal berlanjut ato enggak tuh…

  125. damuhbening says:

    ohtrie said: kekerasan

    iyo kang, mejone keras tenan, dadi kekerasan

  126. wayanlessy says:

    ohtrie said: dhedhel dhuwel sih enggak mBakk…mung arah diskusine agak beda n nyimpang dari parameter awal, dan di indikasikan ada semacam penjurusan ke arah tertentu, hihihii *sok kek intelijen* (ketambahan meneh mbulet pertanyaane)Padhal intinya elum mengena lho itu mBooo… Kuliat mBah Marto malah justru belum menyentuh point utamanya lhooo… Iya nggak mBah…?? dan sepertinya bakal banyak argumen kalo masih berlanjut…..Tapi entahlah, bakal berlanjut ato enggak tuh…

    Haruse lanjut sih mas trie…kan banyak pointers untukku yg blm kujawab dgn suka cita…tp saiki drijiku jik kribo ngetik athik hp..mripatku yo kriyip2 mergo cwilik2 ngene hurupe ..nek nulis swerius mengko salah2 lak blaen…ndhadhak karek disikat pisan…;)Emang pjurusan kearah opo sih mas Trie?

  127. damuhbening says:

    martoart said: Rene wong telu tak masakne sega panas, sambel terong, n scotch whiskey

    wen, nantang nih, ayuk (eh aku ra iso ding hahahahaa)

  128. damuhbening says:

    martoart said: Tak perlu juga sensitif religi akan hal ini.

    Cak, gak ada yang sensitif urusan religi dalam diskusi ini, maaf jika diasumsikan demikian ya ruwet wis, wong takon kok malah dibilang sensitif religi, piye jal?

  129. damuhbening says:

    martoart said: Melihat geng ayodya sebagai aneksator pun juga pemahaman klasik bagi orang Srilangka. Di situ Rama dicerca dan Rahwana dipuja. Bukan berdasar agama melainkan sikap nasionalisme.Mirip dengan di Blambangan yg lebih mengangap Dhamarwulan sebagai bandit dan Minak Jinggo sebagai pahlawan.

    ya mirip juga Indonesai dan malaysia, tergantung dari sisi mana kita berpijak.Namun jika mendenah satu kondisi baiknya bergerak dalam dua sisi, sehingga tidak terlihat membenarkan satu sisi dan menghujat sisi lainnya.namun tergantung lagi cak marto sedang ada di sisi mana? itu penting untuk menentukan arah pemahaman penafsiran.

  130. ohtrie says:

    wayanlessy said: Emang pjurusan kearah opo sih mas Trie?

    hahaha..yang pasti bukan penjurusan ke arah jl Orchid mbakkk.. :))liat dulu aja “mbulete” pertanyaan mBoooo.. trus lirik juga orientasi yang dicari pada tingkat pemahaman *halahsokpinterya akukiiii* :))~otre mbooo, kita tunggu aja waktu yang akan dateng, masih berlanjut ato enggak, dan semoga kalopun nggak berlanjut itu bukan karena kedatangan diriku n kang Tampah, karena arah OOTku masih kutahan nihhh, (gatel banget mo nanggapin “anyarrow” nya kang Tambir je, hihi)

  131. ohtrie says:

    damuhbening said: wong takon kok malah dibilang sensitif religi, piye jal?

    takon terussss…!!!mulakna nek sekolah ki nggatek’ke pak Guru Bu guruu…!!!!:))

  132. damuhbening says:

    ohtrie said: mulakna nek sekolah ki nggatek’ke pak Guru Bu guruu…!!!!

    sing mbok kon ngatekno sopo he![merengut]

  133. damuhbening says:

    martoart said: @Karon, Jancukan koen! Udah seneng diskusi ngalir, eh elu matiin dengan ga pernah tertarik dengan wayangisme. Ayo, balik sini lagi bro!

    wah ngajak keroyokan iki…hahahangundang konco…alah…piye jal???

  134. damuhbening says:

    martoart said: @ Gotrex, ttg kebijakan dan ‘kebenaran tunggal’, ini lumayan seru kalau kamu, Karon, n Damuh lingkari lagi, dipetakan. Tak harus ketemu apa sesungguhnya itu (kalo ketemu gak asyik).

    emoh, mengko malah diajak petak umpet kalo kang Tri, njelehi tenen je nek wis dolanan karo de’e…urik pol! hahahaha

  135. damuhbening says:

    martoart said: Apa salahnya dengan kondisi ini?Saya mencomot Wibisana untuk memetafora organisasi FPI tentunya untuk similarisasi sikap ‘penyebrangannya’, bukan harafiah pilihan agamanya. itulah kenapa sebaiknya melihat ini dengan melepaskan sensitifitas agama. Organisasi agama yg ada adalah karena kebetulan (kebetulan?), mereka yang melakukan ‘penyeberangan’ berdasar dogma yang menaqlidkan.Tulisan itu sebenarnya cukup jelas, dan wayang (figur wayang pun) itu sah dipake tanpa menyertakan agama dalam KTP mereka.

    halah, lagi-lagi sensitif agama, sapa sih yang mendudukan sensitif agama dalam hal ini? aku?Jika itu terus intepretasimu tentang pendapatku (mentang-mentang aku hindu(?) njur mbok aku anggap sensi ngono! mbel!), ya emang gak bakalan iso berketerusan diskusi ini, lha dieret-eret tekan kono…padahal ora ono sing karep merono!sederhana saja: pertanyaanku kan juga jelas (cek lagi deh), bukan hanya tulisanmu saja yang sudah jelas. Masalahnya jika cak Maro menganggap bahwa tulisanmu udah jelas, maka gak akan ada diskusi lagi, lha po kok repot ngenteke enegi mung dinggo ruwet masalah sing wis jelas.

  136. damuhbening says:

    ohtrie said: Saya yaqin disana ada kecenderungan lebih besar pada pengkodisian “kebersamaan” yang artinya itu tak hanya sakleg pada subyektivitas pembenaran pribadi.

    apakah Rahwana sudah melakukan ini? (jika kita mau berimbang lho ya)

  137. ohtrie says:

    damuhbening said: apakah Rahwana sudah melakukan ini? (jika kita mau berimbang lho ya)

    aishhh….Iki apa menehhh…..?? Takon terussss…!!!!Tukok’ke nasi goreng dhisikkkk, ntar baru mau njawab setelah ituuuu……~edited hurup

  138. damuhbening says:

    ohtrie said: aishhh….Iki apa menehhh…..?? Takon terussss…!!!!Tkok’ke nasi goreng ntar baru mau njawabbbb……~edited hurup

    lha piya rantuk takon pho?wong panjenengan sing mbabar masalah pengkodisian “kebersamaan” yang artinya itu tak hanya sakleg pada subyektivitas pembenaran pribadi. , biar gamblang jika mau mengurai, lihat di kedua sisi, ngono lho, dab!

  139. ohtrie says:

    damuhbening said: lha piya rantuk takon pho?wong panjenengan sing mbabar masalah pengkodisian “kebersamaan” yang artinya itu tak hanya sakleg pada subyektivitas pembenaran pribadi.

    huwaaaaaaaaaaaaaaa….salah tampa iki jenenge Bliiii………!!!! *thuthuki sisann..!!!*~tapi lagi rak mood nek kon mbahas jeeee, sedina drg lengkap[ syarat OOTnee….dipersory wiss…. 😀

  140. ohtrie says:

    damuhbening said: .urik pol! hahahaha

    hahahahahaa…ketemu karo wong urik ki ya kudu di “urik”i dhisik noooo…. :)) *melet*

  141. damuhbening says:

    ohtrie said: huwaaaaaaaaaaaaaaa….salah tampa iki jenenge Bliiii………!!!! *thuthuki sisann..!!!*

    sapa? aku?tuing ah….

  142. damuhbening says:

    ohtrie said: hahahahahaa…ketemu karo wong urik ki ya kudu di “urik”i dhisik noooo…. :)) *melet*

    wakkkkkkakakakakamules aku….ampunnnnnnnnnnnnn

  143. martoart says:

    Ini sekadar kekhawatiranku, bukan menuduh. Sorry kali ternyata luput. Kalo ternyata ini gak bermasalah, ya bagus.

  144. martoart says:

    damuhbening said: namun tergantung lagi cak marto sedang ada di sisi mana? itu penting untuk menentukan arah pemahaman penafsiran.

    Itu artikel bersifat opini, aku dalam tulisan itu berada di posisi yang off stream. Kenapa? sebab kekisah yang main stream terlalu mendominasi. Tak perlu kaget bila ada yang berpendapat beda. Apalagi hal itu sudah mentradisi, setidaknya bagiku.

  145. martoart says:

    damuhbening said: wah ngajak keroyokan iki…hahahangundang konco…alah…piye jal?

    Aku gak model main kroyokan. Takok Gotrex kuwi…

  146. martoart says:

    damuhbening said: halah, lagi-lagi sensitif agama

    Yang di atas tadi memang kekhawatiranku (yg ternyata luput), yang ini justru aku menghadang sensitifitas lebih dari pihak Islam.

  147. martoart says:

    damuhbening said: pertanyaanku kan juga jelas

    Ya, tentang referensi dari mana. Aku selalu repot kalo ditanya referensi. Lha gimana wong ini pembacaan dari kekisah yang berkelindan di keseharian keluargaku je. Melihat dan mengupas kisah Wayang udah menjadi tradisi kami. Tapi tradisi dialektis itu boleh gak aku jadiin referensi non tekstual? kalau karena dianggap sekadar obrolan dan lantas karena itu tak layak jadi acuan.. ya,..hmm…Tentu aku juga baca kisah Ramayana, tapi kalau aku tak ingat rujukan halaman berapa yg aku kritisi, dialog mana yg aku analisa, dan juga kalo aku tak bisa menghadirkan referensi tekstualnya kira2 konskuensi apa yang akan terjadi? Tak berstandar akademik? Opini menjadi tak bertanggungjawab?…

  148. martoart says:

    wayanlessy said: asline putih tapi kelunturan?

    asline abang… ning kesiram bayklin.

  149. damuhbening says:

    martoart said: Tak perlu kaget bila ada yang berpendapat beda. Apalagi hal itu sudah mentradisi, setidaknya bagiku.

    gak akan kaget Cak, santai ae, aku dah pernah nonton film dari India sana yang mengambil sudur Rahwana sebgai tokoh utama dengan segala “kebaikan” dari sisi Rahwana, namun ya masih berimbang mendudukan “kebaikan” dalam sisi Rama/ayodya.Film itu memang menggelitik, sayangnya gak bisa dinikmati sampai tuntas, karena aku gak tahu perkembangannya, apakah diputar sampai selesai apa terpengal ditengah jalan: semua lantara jam tayang yang gak bersahabat.Dan ada juga novel yang berjudul: Rahwana Tattwa. Dan aku dah terbiasa ada dan melihat dua sisi

  150. damuhbening says:

    martoart said: Aku gak model main kroyokan. Takok Gotrex kuwi…

    hehehe..percoyo cak

  151. martoart says:

    damuhbening said: Dan aku dah terbiasa ada dan melihat dua sisi

    Bagus. Tapi kalau sisi satu yang terlalu mendominasi dihadirkan penguasa ayau siapapun ke mata kita, sebaiknya sisi yang ditelantarkan mulai kita lihat lebih banyak. sekadar pengimbang.Jadi ini bukan soal tak melihat dua sisi, tapi tentang durasi, prime time, dst.

  152. damuhbening says:

    martoart said: Tapi tradisi dialektis itu boleh gak aku jadiin referensi non tekstual? kalau karena dianggap sekadar obrolan dan lantas karena itu tak layak jadi acuan.. ya,..hmm…Tentu aku juga baca kisah Ramayana, tapi kalau aku tak ingat rujukan halaman berapa yg aku kritisi, dialog mana yg aku analisa, dan juga kalo aku tak bisa menghadirkan referensi tekstualnya kira2 konskuensi apa yang akan terjadi? Tak berstandar akademik? Opini menjadi tak bertanggungjawab?

    ya aku paham kondisi ini: sebenarnya bukan masalah, karena masyarakat umum memang lebih banyak mengembangkan pola dialiktik antar masa (kalau di bali isitlahnya : Gugon Tuwon):Yang kumaksudkan bukan masalah ada dihalaman berapa dari teks apa, namun lebih pada pemahaman bagaimana kesimpulan tersebut bisa disarikan: apa keutuhan kejadian telah dipetakan?Kenapa Wibhisana mengambil sikap demikian? Bukankah dia tidak pernah mengurai tentang kebenaran Wisnu (Rama) dalam hal ini, namun dia lebih menekankan pada kesalahan akan tindakan Rahwana menculik istri orang lain.Dan bukankah Wibhisana tidak menyatakan bahwa dia akan membelot dari negeranya? Dia sedang mengingatkan sang kakak, Rahwana, akan kesalahan tindakannya, dan Wibhisana kemudian di Bunuh oleh Rahwana, dilempar ke hutan.Apakah kondisi ini dinyatakan sebuah pembelotan?Jika toh kemudian dia ada di pihak Rama, coba ditelisik ulang bagaimana kejadiannya

  153. damuhbening says:

    martoart said: Jadi ini bukan soal tak melihat dua sisi, tapi tentang durasi, prime time, dst.

    Seberapa besar durasi itu menjadi penting diutamakan atau disisihkan? Semua tergantung pesan apa yang ingin ditekankan.Segi kepentingan mana yang akan coba diutamakan?Jika ada dua buah: sama-sama tidak sempurna: satunya lebih banyak busuk dan berulat, ada bagian yang masih bagus: sementara satunya lagi sama-sama ada bagian busuknya namun belum berulat, dan prosesntase utuh dan kondisi bagunya lebih banyak: Nah mana yang jadi pilihan orang secara umum dalam mengabarkannya? Menganalisanya? [lagi-lagi tergantung kepentingan apa yang sedang dibawanya]

  154. martoart says:

    damuhbening said: Bukankah dia tidak pernah mengurai tentang kebenaran Wisnu (Rama) dalam hal ini, namun dia lebih menekankan pada kesalahan akan tindakan Rahwana menculik istri orang lain

    Tidak cukup mengkritisi Rama, itulah salah satu sikap terima jadi. Taqlid, itu yang saya arahkan sebagai pembanding para pemilih jalur jihad ala FPI. Terlebih dalam konteks tulisan ttg nasionalisme.Pembelotan kenapa tidak? Pun secara fisik Wibisana juga menyebrang. Dan dia juga membocorkan rahasia negara, sayang aku lupa di bagian mana, mungkin ttg kelemahan Kumbakarno.

  155. martoart says:

    damuhbening said: Seberapa besar durasi itu menjadi penting diutamakan atau disisihkan? Semua tergantung pesan apa yang ingin ditekankan.Segi kepentingan mana yang akan coba diutamakan?Jika ada dua buah: sama-sama tidak sempurna: satunya lebih banyak busuk dan berulat, ada bagian yang masih bagus: sementara satunya lagi sama-sama ada bagian busuknya namun belum berulat, dan prosesntase utuh dan kondisi bagunya lebih banyak: Nah mana yang jadi pilihan orang secara umum dalam mengabarkannya? Menganalisanya? [lagi-lagi tergantung kepentingan apa yang sedang dibawanya]

    atur aja dah..

  156. damuhbening says:

    martoart said: Tidak cukup mengkritisi Rama, itulah salah satu sikap terima jadi. Taqlid, itu yang saya arahkan sebagai pembanding para pemilih jalur jihad ala FPI. Terlebih dalam konteks tulisan ttg nasionalisme.

    kenapa Wibhisana harus mengkritisi Rama dalam hal ini: dia sedang berhadapan dengan Rahwana saudaranya, kakanya, yang sedang mempertahankan wanita yang diculiknya dari suami orang.Gimana sikapmu jika kakakmu menculik istri orang dan mempertahankannya ketika sang suami memintanya kembali?Rama berpendirian: Jika sang istri dikembalikan, cukup! karena itulah sikap Rama, dia hanya menginginkan istrinya dikembalikan, bukan untuk menundukan/menyerang kedaulatan Alengka.

  157. damuhbening says:

    martoart said: Tidak cukup mengkritisi Rama, itulah salah satu sikap terima jadi. Taqlid, itu yang saya arahkan sebagai pembanding para pemilih jalur jihad ala FPI. Terlebih dalam konteks tulisan ttg nasionalisme.Pembelotan kenapa tidak? Pun secara fisik Wibisana juga menyebrang. Dan dia juga membocorkan rahasia negara, sayang aku lupa di bagian mana, mungkin ttg kelemahan Kumbakarno.

    waduh, aku jadi makin bingung (aku yang oon apa gimana ya?) kok aku gak bisa menemukan dari sisi mana ada ketertautan sikap Wibhisana dengan jihad ala FPI?Apakah karena kemudain Wibhisana menyebrang ke Rama/Ayodya? atau gimana? jika iya, apakah sesederhana itu menyamakannya dengan jihat FPI? (wedewwww….makin pening ini, sampai udah buat kopi dua gelas…)Aku harus cek ulang minimal 5 bukuku yang semuanya bertema Ramayana, jadi penasaran neh…

  158. martoart says:

    damuhbening said: Gimana sikapmu jika kakakmu menculik istri orang dan mempertahankannya ketika sang suami memintanya kembali?

    aku akan tanyakan kekuatan apa yg membuat dia sedemikian nekat menculik istri orang itu.

  159. martoart says:

    damuhbening said: ada ketertautan sikap Wibhisana dengan jihad ala FPI?

    sesama menganggap ‘nasionalisme’ adalah sia-sia, dan konsep kebenaran ilahiah sbg jalan utama.

  160. damuhbening says:

    martoart said: aku akan tanyakan kekuatan apa yg membuat dia sedemikian nekat menculik istri orang itu.

    lantas, apa sikapmu terhadap prilaku saudaramu itu?

  161. damuhbening says:

    martoart said: sesama menganggap ‘nasionalisme’ adalah sia-sia, dan konsep kebenaran ilahiah sbg jalan utama.

    WOW! mengejutkan!oh jagat dewa bhatara….mungkin aku yang buta selama ini, dari kecil membaca ramayana: kok ya rasanya belum menemukan sikap Wibhisana yang berbicara bahwa “nasionalisma” adalah sia-sia…arghhh…apalgi disejajarkan dengan FPI?Kebenaran ilahi??? ahh…benarkah keilahian yang dijabarkan disini dalam kontek FPI? Seperti apa keilahian menurut konsep Cak Marto???

  162. martoart says:

    damuhbening said: lantas, apa sikapmu terhadap prilaku saudaramu itu?

    bisa jadi sejarahnya sama dengan kenapa rahwana sangat merasa berhak sama sinta. coba cari kenapa.

  163. damuhbening says:

    martoart said: coba cari kenapa.

    bukan tugasku mencari kenapa-nya Cak.Aku malah butuh penjelsanmu je (sang perangkai semua untaian di atas)

  164. martoart says:

    damuhbening said: WOW! mengejutkan!oh jagat dewa bhatara….

    katanya gak kaget dan sante aja?

  165. damuhbening says:

    martoart said: katanya gak kaget dan sante aja?

    kaget bukan berarti gak santai lho ya…

  166. martoart says:

    damuhbening said: bukan tugasku mencari kenapa-nya Cak.Aku malah butuh penjelsanmu je

    ntar coba tak tanyain deh..

  167. martoart says:

    damuhbening said: kaget bukan berarti gak santai lho ya…

    wong aku cuma ngutip dari komenmu yg di atas tadi kok. “Gak Kaget Cak, Sante aja” gitu..

  168. damuhbening says:

    martoart said: wong aku cuma ngutip dari komenmu yg di atas tadi kok.

    hahahaha…..kemekelen wis….

  169. martoart says:

    damuhbening said: hahahaha…..kemekelen wis….

    lha itu masih nagkring tuh, belum kehapus kan? kok kemekelen?

  170. martoart says:

    damuhbening said: apa keilahian menurut konsep Cak Marto?

    Tuhan itu fakta, agama menjadikan-Nya mitos

  171. damuhbening says:

    martoart said: lha itu masih nagkring tuh, belum kehapus kan? kok kemekelen?

    hehehenek arep membahas kagetku yang gak penting ya aku turu sik wae….wis ngobrol sambil ngantuk iki…mengko neh, nek kira-kira ada perkembangan dikusi ya aku nyaut, nek ora ya aku tak nggolek komik maneh…

  172. martoart says:

    damuhbening said: membahas kagetku yang gak penting

    Penting, karena berhubungan dengan kadar kesiapan menerima perbedaan dan pendapat yg tak harus sejalan dengan pakem. Yo wis, tak kancani turu. Tangane ojo raba2 yo…

  173. martoart says:

    martoart said: Ataukah sejatinya kita yang sengaja dibuat rabun? Seperti misalnya betapa tak banyak dari kita yang menyadari bahwa Indonesia pernah memiliki presiden bernama Sjafruddin Prawiranegara.

    Termasuk saya yg ternyata juga tak memasukkan Assaat dalam tulisan ini hanya karena awalnya masih pilih2 legalitas keberadaan presiden Indonesia. Keraguan tepatnya. Setelah mempelajari kebih lanjut, saya merasa perlu memasukkan Assaat dalam tulisan ini.Komentar ini boleh disebut sebagai semacam ralat.Untuk mengenal Assaat, silakan kunjungi: http://id.wikipedia.org/wiki/Assaat

  174. afemaleguest says:

    martoart said: Termasuk saya yg ternyata juga tak memasukkan Assaat dalam tulisan ini hanya karena awalnya masih pilih2 legalitas keberadaan presiden Indonesia.

    me neither.seingatku ketika belajar Sejarah di bangku sekolah, aku belum pernah menemukan nama Assaat sebagai salah satu presiden Indonesia.

Leave a reply to damuhbening Cancel reply