ZAIDI, JUST FREE HIM!

Tulisan ini tak untuk memberi jejak bagi Hari Pers Nasional yang telah lewat pada tanggal 9 Pebruari lalu, juga tak demi Hari Pers Internasional nanti pada tanggal 3 Mei. Saya tulis pada hari ini, Rabu, 19 Maret 2009 yang tak harus – atau menunggunya, menjadi sebuah hari istimewa untuk bersolidaritas kepada Zaidi.

Istana Salam, Baghdad, Irak, 14 Desember 2008

Sebuah sepatu dilempar, dengan serangkaian kalimat menyertai; “Ini hadiah dari rakyat Irak. Ini ciuman perpisahan, kamu anjing!”. Si Anjing lihai menghindar. Sepatu berikutnya kembali meluncur. Tak lupa rangkaian kalimat menyertainya; “Ini untuk para janda, anak-anak yatim piatu, dan mereka yang tewas terbunuh di Irak!”. Dan lelaki itu langsung menjadi terkenal tanpa butuh waktu 15 menit pun. Famous atau Notorious, tenar atau cemar, terserah dari mana Anda menilainya, atau siapa Anda. Tak apa, ini juga perdebatan lama tanpa usai di ranah jurnalisme. Juga di ruang pilihan para aktivis.

Begini, para aktivis biasa terfriksi di dalam dua pilihan bersikap. Yaitu untuk non violence atau memilih jalur kekerasan. Bagi aktivis yang berpandangan anti kekerasan, tindakan Zaidi sudah dianggap menyalahi prinsip gerakan. Bagi aktivis anti non violence, lemparan Zaidi yang luput dan cuma sepatu adalah tindakan sia-sia. Mereka lupa, Zaidi bukan aktivis gerakan.

Dia jurnalis. Jurnalis yang mendapat kesempatan bersikap sebagai aktivis gerakan. Yang dalam tempoh sesingkat-singkatnya mengambil tandakan tanpa – perlu – memikirkan konsep gerakan semacam apa yang musti ia pilih. Hanya rekaman duka kemanusiaan Irak dan ditambah pernyataan ironis Si biang Penjajah bahwa perang di wilayah itu belum usai. Maka, sepatu menggantikan posisi “pena”-nya saat itu juga.

Sword shoes sharper than words!

Namun, di dunia jurnalisme tindakan Zaidi juga tak luput dari polarisasi pendapat. Ada yang menyayangkan apa yang dilakukannya. Mengatakan tindakannya tidak menunjukkan sikap profesional seorang jurnalis. Tapi banyak juga yang menyetujui bahkan mengagumi keberaniannya yang beresiko itu. Sekali lagi, Zaidi adalah jurnalis. Kehadirannya di konferensi pers saat itu sebagai koresponden Televisi Al-Baghdadiya. Bagi seorang jurnalis kata dan makna adalah senjata utamanya. Alas kaki adalah benda yang paling tak berarti di dalam tradisi busana Bangsa Arab. Hanya menjadi berarti ketika diterapkan untuk menyatakan penghinaan. Zaidi hanyalah menyampaikan pernyataan kaum tertindas ke wajah penindas. Dengan sepatu, bukan pena. Dengan makna, bukan kata. Apakah itu bukan sebuah tugas jurnalistik?

Profesionalisme

Zaidi boleh jadi satu di antara beberapa jurnalis yang justru layak disebut profesional. Wartawan lain, yang kisah dan pernyataannya bisa disambungkan dengan tindakan Zaidi adalah James Nachtwey.

Nachtwey adalah seorang pewarta foto yang lebih sering merekam peristiwa di daerah konflik. Seorang fotografer seperti dia terkadang dituntut memilih apa yang harus dilakukannya pada detik-detik yang sulit. Terus memotret dan membiarkan obyek foto mati, atau membantu menyelamatkan nyawanya, tapi kehilangan momentum. Perang batin yang sering dihadapi fotografer perang. Kapan harus membantu dan kapan hanya jadi pengamat? Menurut Nachtwey: “Batasnya adalah ketika Anda hanya menjadi satu-satunya orang yang bisa mengubah keadaan”. Nachtwey seperti hendak mengingatkan bahwa tugas seorang fotografer adalah merekam dan memperlihatkan peristiwa kepada masyarakat luas. Lantas apa yang menyambungkan Nachtwey dengan Zaidi?

Saya berasumsi perang batin juga dihadapi Zaidi saat itu. Dia tengah mendapati obyek jurnalistik yang harus disikapi. Akankah dibiarkan begitu saja Sang Durjana menyatakan kesuksesan kinerja pasukan koalisi dan dia kehilangan momentum jurnalistik? Ataukah dia segera lemparkan saja kemarahan agar dunia tahu kebohongan Sang Durjana? Entah Zaidi pernah mendengar pernyataan Nachtwey atau tidak, tapi setidaknya tindakannya bersesuaian dengan batasan bahwa, dia satu-satunya orang yang (hadir di situ, yang terbukti – merelakan diri mengupayakan) bisa mengubah keadaan. Keadaan memang tak serta-merta berubah (atau tidak pun), tetapi satu hal yang pasti, bahwa aksinya telah direkam dan diperlihatkan kepada masyarakat luas. Dia berperan sebagai obyek jurnalistik bagi diri-sendiri dan kawan-kawannya sesama wartawan.

Rekaman peristiwa pelemparan itu sendiri juga telah menunjukkan profesionalitasnya sebagai jurnalis. Dan memang tidak untuk menunjukkan profesionalitasnya sebagai penembak jitu.

Yang melatari kemarahannya adalah derita rakyat tertindas (Irak). Itu yang dinyatakannya bersama sepatu pertama. Bukan sebuah pernyataan primordial kebangsaan (Arab). Anda tahu bedanya? Zaidi tahu karena dia seorang jurnalis yang profesional. Sepatu berikutnya mewakili kemarahannya atas dasar kemanusiaan. Untuk para janda, anak-anak yatim piatu, dan mereka yang tewas terbunuh di Irak. Zaidi tidak secara khusus menyebut untuk mujahid ataupun yang mati syahid membela agama. Zaidi bukan sejenis Amrozi, meski dia seorang Muslim. Bukan semacam Osama, meski dia juga orang Arab. Muzhir Al-Khafaji, direktur program Al-Baghdadia, melukiskan dia sebagai “Orang Arab yang bangga dan berpikiran terbuk
a”. Zaidi tahu benar kalimat apa yang harus menyertai tiap sepatu, karena dia seorang jurnalis yang profesional.

Muntadar al-Zaidi, 28, seorang Jurnalis dengan “J” besar. Yang di-tidak-adili di negerinya sendiri dengan peradilan ala cowboy. Yang saya merasa layak pre-judge bahwa Zaidi tak akan mendapat keadilan. Bagi saya, bahkan sedetikpun vonis kurungan yang bakal ditimpakan akibat profesionalisme kewartawanan dan sikap kemanusiaan yang ia perbuat, amatlah tak adil. Maka bersama tulisan dan gambar di blog ini saya bersolidaritas kepadanya: ZAIDI, Just Free Him!

This entry was posted in Nasionalisme. Bookmark the permalink.

23 Responses to ZAIDI, JUST FREE HIM!

  1. martoart says:

    Ilustrasi saya olah dari foto Zaidi dan memarodi logo NIKE.

  2. agamfat says:

    Kata Seno, ketika jurnalisme dibungkam, sepatu berbicara hehehe

  3. t4mp4h says:

    agamfat said: Kata Seno, ketika jurnalisme dibungkam, sepatu berbicara hehehe

    slogan baru buat jurnalis “biarkan sepatu bicara”

  4. agamfat said: Kata Seno, ketika jurnalisme dibungkam, sepatu berbicara hehehe

    alternatif terakhir nih ya, hehehemungkin ketika sepatu bicara, mata dunia akan jd lebih terbuka

  5. wonderguitar says:

    mas marto, aku sebar di facebook tak apa-apa kah!? nanti kukasih link ke sini…

  6. martoart says:

    Wuiiih….>Agam; He he..JURNALISME SEPATU.>T4mp4h; Say it with shoes.>Tya; Masih ada sandal dong..>Cenil; Make Shoes Not War!>Nosa; Silakan, dengan senang hati. “Kabarkan kebenaran walau satu ayat, Lemparkan sepatu-sepatu walau gak kena sasaran” he he…

  7. notapearl says:

    sepatu menjadi bintang iklan di salah satu partai..

  8. sepunten says:

    pabrik sepatunya kuwalahan order setelah itu…AS makin sentimen, ‘momentum’ dimanfaatin israel…

  9. imside says:

    tajam…. marto banget….

  10. bbbnshoes says:

    hai…seperti biasa, luv this, luv u…hahahha

  11. martoart says:

    >NAJ: Yang mana tuuuh? maklum ga pernah nonton tipi>Heri: Momentum yg mana tuh Her? wah aku ndak dong neeh..>BoBI: Setajam-tajam tulisan ini, tak setajam sepatu Zaidi. He he..>Erwina: LU2 (keekekek sambil malu-malu)

  12. luqmanhakim says:

    Mas… Saya pernah ke psikolog buat memeriksakan kejiwaan saya yang meledak-ledak, sepertinya tulisan itu pernah saya upload di MP juga.Mengenai Zaidi, aku nggak sepaham dengan konteks Mas Marto. Jadi jurnalis, apapun unsurnya harus lepas dari keberpihakan, meski itu keberpihakan pada kebenaran. Tugas jurnalis hanya memaparkan, bukan menyimpulkan. Kesimpulan dikembalikan ke audience, pembaca. Cara Zaidi ini jelas nggak menerapkan kaedah profesional jurnalistik.Akses yang didapat Zaidi ketemuan sama Presiden AS, trus dia ngelempar sepatu karena emosionalnya akan kebohongan dunia, meski itu benar, tapi predikatnya sebagai jurnalis itu yang mencoreng dunia jurnalistik itu sendiri. Beda kalo Zaidi nggak berpredikat jurnalis, meski dia bisa dateng ke pertemuan itu dan menanggalkan profesi jurnalistiknya, itu yang dibenarkan. Saya hanya nggak membenarkan tindakan profesional yang dibawa-bawa dalam konteks kebenaran…Analoginya sama seperti beberapa koran kuning macam Lampu Merah, jurnalistik gebleg yang nulis bener-bener subyektif dan judul sama isi bisa berbanding terbalik…Meski idiom jurnalistik itu adalah sejarah yang terburu-buru, sebelum sejarawan menuliskan sejarah, para jurnalis sudah menuliskannya, kaedah netralitas itu sangat perlu…Sori ah kalo sok tau. Ntar ketemu kita ngobrol banyak…

  13. martoart says:

    >Luqmy-Man; Whaaa… rupanya,.. baru kutahu digaris apa semangat jurnalismemu. Ini termasuk bagian dari banyak polarisasi di ranah jurnalisme yang tak usai itu. Aku suka pendapatmu yang berlambar semangat jurnalisme semacam itu. Selalu suka, dan aku jaga agar kita tetap bisa saling rawat perbedaan itu. Meski aku tidak di pihakmu.Bagiku, jurnalis harus berpihak kepada kebenaran. Jangan tanya kebenaran semacam apa, karena akan menjadi perdebatan tersendiri. Jangan merasa selalu kesulitan menentukan mana yang benar dan salah. Jangan pernah mau pintar dan dewasa kalau susah menentukannya. Dan jangan bekerja di manapun karena kita tak bisa menentukan benar salah. Jurnalis adalah pekerja yang berdiri di dua kaki. Selain profesionalitasnya sebagai pencari rejeki, dia juga mengemban semangat kebenaran humanitarian. Dia harus berpihak kepada kemanusiaan. Berat? Ya memang, usah menekuri dunia seperti ini kalau kita merasa tak mampu (It’s not personal coy).Tugas jurnalis hanya memaparkan? kamu lupa bahwa jurnalisme juga mengemban edukasi? Juga menyangga sebagai satu pilar demokrasi? dia bukan tukang pos (tanpa mengurangi rasa hormat terhadap profesi Mr Post Man).Tapi sungguh tak layak juga dong menganalogikan dengan koran kuning. He he.. komenmu jelas bukan sok tahu dong. Tgl 26 jam 2 ketemu di galeri cafe TIM. coba tanya Agam tuh.

  14. ravindata says:

    martoart said: He he.. komenmu jelas bukan sok tahu dong. Tgl 26 jam 2 ketemu di galeri cafe TIM. coba tanya Agam tuh.

    ikuuuttt…….rek diundur aja, ketemuannya. gimana kalau tanggal antara 29-31 jam 18.00 di millenium sirih ?

  15. agamfat says:

    Yang itu boleh juga.26 Maret Franky dibantu Faisal Basri, Teten, dsb luncurkan lagu Jangan Pilih Politisi Busuk versi baru, perbaikan dari versi Harry Roesli.

  16. luqmanhakim said: Tugas jurnalis hanya memaparkan, bukan menyimpulkan. Kesimpulan dikembalikan ke audience, pembaca.

    Exactly the principals used by ‘tabloid’, adapted by infotainments.

  17. kalo di endonesya, yang dilempar apa ya? jurnalis di endonesya mau melempar harga diri…. sayang ah… mau ngelempar kamera, mahal… lagian sudah pasti kena lempar pentungan petugas duluan…jadi ngelempar apa ya?

  18. martoart says:

    >Aping; mbok ya sampeyan yang ngalah. Ke jktnya diajukan tgl 26 gitu..Banyak yg kangen loh sama sampeyan.. Tuh arek malang diglendheng pisan.>Agam: Nah ini dia AGAM sang EO ahluljinah wal jamaah… ha ha ha ..>EMTE: Wartawan kita biasanya melempar masalah. he he..

  19. ada satu hal yang membuat saya kecewa terhadap zaidi yaitu kenapa dia gak latihan ngelempar dulu?

  20. chanina says:

    sepatunya merk apa ya? (ra penting blas) wakakaks HIDUP ZAIDI

  21. tulusjogja says:

    Jurnalisme PartisanJurnalisme PerdamaianJurnalisme ProfesionalJurnalisme PesananJurnalisme Empathy (pada kependeritaan)Merupakan pilihan, dan pilihan ini bisa tidak bisa konsisten untuk semua soal dan masalah. Jadi tidak berlaku hukum besi, sebab manusia terdiri dari berbagai unsur..Terlepas dari itu nyang memberi penilaian -terhadap Jurnalis) adalah pembaca atau audience yang cerdas, sehingga fungsi edukasi pada wartawan bukan (saja) dalam menggurui melainkan diwujudkan dalam karya yang cerdas, karya yang duilandasi pilihannya tersebut. Kalau semua jurnalis membuat karya Jurnalistiknya sangat partisan, maka pembaca akan menjadi pembaca partisan, kalau Jurnalis membuat karya yang objektif (bobot objektifitas ini juga beragam), maka pembaca akan menjadi pembaca yang objektif yang pandai memilah fakta dan menganalisis sendiri.. terserah mau jadi jurnalis apa, itu adalah pilihan yang akan membawa karmanya sendiri sendiri (konsekuwensi)Zaini dalam melempar sepatu jelas bukan dalam kontek profesi Jurnalisnya, ia sebagai pribadi. Menilai bobot dan kualitas Zaidi hanya bisa dari karya Jurnalistiknya.Melempar sepatu pada Bush adalah perilaku kultural, atau simbol budaya yang diekspresikan, bukan ekspresi Jurnalisme Nyambung ga ya tanggapan ini, maaf Bung Martoat (dan pembaca lainnya) kalau gak nyambung.. maklum wis mulai pikun he he he he he

  22. martoart says:

    tulusjogja said: Nyambung ga ya tanggapan ini, maaf Bung Martoat (dan pembaca lainnya) kalau gak nyambung.. maklum wis mulai pikun he he he he he

    Nyambung banget sih Pak, malahan komentar Sampeyan ini pastinya turut memperkaya pemahaman dan mungkin meramaikan tulisan ini.Tapi sebenarnya sih, saya hanya coba menyampaikan apa yang dilakukan Zaidi itu dengan gaya tulisan sarkastik. Jadi tak perlu khawatir sekeras apa pembelaan saya terhadap kelakuan lempar sepatu. Dengan cara tersebut, saya setidaknya bisa berharap pembaca akan memaknainya seperti apa. Khususnya tentang polarisasi jurnalistik tersebut. “Pengakuan” ini juga bisa untuk komentar Luqman.Terima kasih pak tulus.

Leave a comment