Giliran Saya Bercinta!

Ah, mumpung masih dalam suasana merayakan indahnya Bulan Suci Valentine, tak ada salahnya ngomongin cinta. Bukan hal baru memang. Semua suka membicarakan cinta. Apa itu definisinya, kajian filosofi, tinjauan sosial dan sejarah, sampai nilai ekonominya. Berbagai buku diterbitkan, teori diumbulkan, syair dilantunkan, tembang dialunkan, tentu bersama polemiknya yang terus meradang. Nah sekarang saya ambil giliran bercerita tentang cinta.

Love Quotient (LQ)

Cinta, sebagaimana ghalibnya bentuk emosi manusia, sungguh tak tersangkakan. Mirip-mirip Jaelangkung. Datang tak diundang, ngilangnya tak jelas kapan. Kadang nongol sendiri, tapi juga bisa rombongan. Maka dalam ber-emosi, manusia bisa marah sekaligus sayang, menangis juga tertawa, benci tapi rindu, orangtua berteriak “Bego, nggak ati-ati!” saat balita kesayangannya jatuh, dan suami yang tak asyik bisa memukul istri karena tidak mau diajak berasyik-masyuk. Saya teringat lagunya Slank; “… I hate u but, I need u my girl …” Repot! Untunglah ada para bijak yang bernasihat, “Bersahabatlah dengan emosi negatifmu, cobalah berjalan bersama sakitmu, bahkan peliharalah dendam agar kamu bisa bertahan”.

Para bijak itu telah memformulakannya dalam juklak yang biasa kita kenal dengan Emotional Quotient (EQ). Muncul setelah formula Intelligence Quotient (IQ) yang dibikin para pintar. Seperti latah, muncul pula belakangan Spiritual Quotient (SQ) ala para spiritualis. Aha! Mumpung sedang menggilir cinta, saya manfaatkan saja kesempatan ini untuk memformula Love Quotient (LQ). Alasan saya, rasanya “Cinta” memiliki hal spesifik, yang untuk memenejnya perlu diperhatikan lebih khusus daripada digabung dengan EQ yang begitu luas. Pengalaman telah mengajarkan bahwa untuk memenejnya tak cukup dengan mengandalkan menejemen qolbu saja.

Baiklah, sebelum bercinta – berbagi konsep cinta versi saya, Anda saya ajak melakukan foreplay. Permainan awal ini adalah merecap dulu rasa benci sebelum rasa cinta. Kata pepatah, “Bagaimana kita bisa merasakan manis sebelum tahu apa itu pahit?”.

Siap? Spread your legs, eh, open your mind!

Begitulah, mencinta bisa berbanding lurus – bahkan menempel terus ibarat perangko, dengan membenci. Kemudian tercipta beberapa pola pengendaliannya. Berikut ini pola kendali rasa benci yang saya sarikan:

Pola Putih: Adalah yang ditauladankan Yesus, Gandhi, Buddha, dan Yudhistira. Mereka adalah kelompok yang menghadapi serangan kebencian dengan semangat anti kekerasan. Kebijakan yang menurut saya tak mungkin lagi dihadirkan di masa kini. Baik, tetapi terlalu utophis. Atau setidaknya sulit. Kalau ada figur era sekarang yang hendak menyemai lagi ajaran berpola ini, orang itu harus lebih tangguh daripada tokoh-tokoh di atas. Orang yang tak sekadar rela kehabisan pipi karena selalu dikasih kepada musuh setelah pipi sebelahnya dipukul, yang pengikutnya pada tewas karena dibantai Inggris, yang menyerahkan sesuatunya kepada proses karma, dan yang mau diperlakukan apapun termasuk dinikmati tubuh istrinya oleh para korawa. Saya tak sanggup menjadi orang sebaik pola ini.

Pola Merah: Ditawari oleh Machiavelli. Orang yang mengajarkan lebih baik ditakuti dan dibenci daripada di hormati. Yang menegaskan prinsip, “Setiap orang adalah serigala bagi serigala yang lain”. Tokoh yang menanamkan semangat mencurigai. Dipraktekkan oleh Stalin, Hitler, Bush, Musolini, Suharto, dan Amrozi. Paham yang dianut para fasis bahwa ketertiban haruslah dijalankan dengan keras. Tak usah kenal ampun, jadilah polisi dunia. Yang dianut para teroris bahwa agamanya dalam bahaya. Diugemi kaum ultra kanan dan primordial-chauvinist bahwa pendatang adalah bahaya. Tutup semua pintu masuk, jangan kenalkan pribumi kepada apa dan siapapun yang datang dari luar. Xenophobia. Padahal Sun Tzu pernah bilang agar kita mengenali lawan lebih dari kawan (The Art of War).

Pola tersebut lebih tampak betapa semangat kebencian amat berguna dalam kekuasaan, dan percintaan bagi penganutnya. Memang begitu jahat dan kotor, apalagi di mata orang-orang baik penganut pola pertama, tapi terbukti manjur agar orang lain terdominasi, pasangan supaya taat, dan rakyat biar tunduk. Bagi Anda yang merasa tak mungkin mengikuti pola putih, pola merah ini lebih mudah untuk dikerjakan. Saya sendiri tak cukup nyali untuk mengikuti pola ini.

Pola Pink: Pemilihan warna pola ini menunjukkan sifat intermediate-nya. Pink, tak terlalu merah, pun tak terlalu putih. Ibarat lagu dangdut, yang sedang-sedang sajalah. Terlalu lunak jangan, terlalu keras juga jangan. Tokoh yang dapat ditaruh adalah Muhammad. Pilihan ini bukan lantaran jalan tengah yang biasa dilaluinya, tapi tentang konsep kendali rasa benci yang dibawanya. Salah satu ayat dalam buku sucinya mengatakan;

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeret kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; Adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Q. Al-Maidah 8)

Saya tak hendak menjelaskan makna ayat yang jelas-jelas sudah jelas apa maksudnya ini. Ayat ini saya ambil karena kata dan sifat “Kebencian” dipilih Tuhan sebagai pengayun untuk mengajak berlaku baik. Yang terkandung di dalamnya adalah bahwa Tuhan sangat mengerti bahwa manusia memiliki sifat itu, dan itu boleh. Seboleh manusia memiliki sifat kasih. Hanya saja kita dilarang terarus kepada tindakan anti keadilan. Baik oleh rasa benci bahkanpun oleh rasa kasih. Dalam satu sejarah perang Islam, Ali meludahi lawannya yang sudah tak berdaya. Oleh nabi, Ali ditegur karena telah mencampuradukkan perang dengan emosi pribadi.

Ketidakadilan yang timbul dari kebencian adalah penistaan kemanusiaan, sedang yang ditimbulkan dari rasa kasih adalah nepotisme.

Konsep pengendali kebencian berpola pink rasanya lebih masuk akal untuk dilaksanakan. Bagi seorang pemimpin ataupun seorang pecinta. Pinky Lover.

Cinta, dari mana datangnya?

Yang saya tahu, itu itu bermula dari sel syaraf dalam merespon suatu rangsangan indrawi. Tentu tak cuma dari mata sebagaimana kata mutiara klasik selama ini. Bisa dari hidung yang membau aroma wewangi segar, boleh datang lewat telinga yang mendengar suara nan amboy, dari kulit saat menerima elusan lembut, dan seterusnya.

Sel syaraf merecap setiap jenis rangsangan sesuai kekhususannya, kemudian menerjemahkannya kedalam sinyal-sinyal biokimia. Itupun juga tak langsung melorot turun ke hati. Perlu menjalani proses birokrasi di pusat pengolahan data dulu, yaitu sebentuk sistem kinerja otak nan kompleks. Semacam fit and proper test-lah. Hasilnya dikirim menuju kelenjar-kelenjar dan organ yang bewenang. Di sinilah saat turun ke hati – yang lebih tepat dimaknai heart, dan bukan liver. Wilayah psikologis di mana tercipta atau tak tercipta rasa sir. Tapi yang pasti juga akan lebih turun lagi menuju organ kelamin. Ranah biologis di mana tercipta rasa cret.

Tinggal menunggu tanggapan balik dari tubuh kita. Hormon dan atau enzim seperti apa yang kelak akan disemprotkannya. Lendir syahwat ataukah muntahan dahak. Denyut motorik apa yang akan menggerakkan perototan kita. Goyangan kenikmatan ataukah gelengan penolakan. Begitulah, proses yang sama berlaku juga untuk rasa benci, sayang, takut, berani, marah, senang, dan semua bentuk emosi lain.

Beragama Cinta

Cinta, dalam spirit kemanusiaan saya, mengandung dua element penting dan sebuah factor perekat. Curangnya, untuk memperkuat konsep percintaan ini saya menunggangi kekisah dalam agama-agama ketuhanan. Toh sejujurnya, sprirt kemanusiaan tak butuh mujizat dan nabi-nabi. Namun begitu, sisi baiknya penganut agama ketuhanan boleh bersukacita atas penjabaran berdasar konsep ini, yang mana mereka bisa dan terbiasa luput dalam memaknai ajaran moralnya. Itupun kalau mereka mau menerima. Elemen itu melekat pada tokoh yang saya ceritakan di bawah ini. Sebagai berikut;

Dipercaya, Musa adalah figur yang penuh kekerasan. Bayi yang dihanyutkan di Nil yang deras penuh buaya. Ditemukan dan dipelihara Istri faraoh. Sewaktu kecil menjambak jenggot bapak asuhnya, lebih memilih api daripada pisang, dan memprovokasi rakyat Israel agar berontak. Semangat perlawananya adalah jihad yang liar. Sebagai pemuda gagah, tampan, dan ningrat, pastilah banyak perempuan yang datang. Merangsek dan merayu. Saya tak mampu membayangkan bagaimana keliaran gejolak mudanya menghadapi itu.

Sementara Yesus adalah sosok yang berbalut kelembutan. Tidak menikah (singkirkan dulu teori Cawan Suci), yang diikuti oleh konsep selibat para pastur. Konon ibunya juga seorang perawan. Semangat moral yang dibawanya Kasih Sayang. Tidak punya pasukan karena bukan jendral perang. Hanya beberapa murid karena dia guru. Yang menyadarkan Magdalena sang pendosa dengan hanya membuka jubah suci dan tutur lembutnya. Yang berkata kepada Kaum Farisi;

Siapa yang merasa bukan pendosa, silakan lempar batu pertama kepada perempuan itu“. (Yohanes 8; 7).

Yosef bapaknya adalah seorang tukang kayu. Namun dia lebih berbakat menjadi penggembala, pekerjaan yang membutuhk
an sifat kasih sayang dan kelembutan.

Muhammad. Mewarisi sejarah kekerasan Musa. Dia lahir di tengah kemiskinan, konflik eksistensi suku, dan invasi bala tentara Abrahah penguasa Ethiopia. Pembuluhnya juga masih teraliri trah ningrat Quraisy. Namun dia juga mengalami sinaran kelembutan Yesus. Masa kecil menggembala ternak, menjelang dewasa sukses berniaga bersenjata kasih dan saling percaya. Maka para penggemar menasbihnya sebagai insan kamil yang pernah tercipta. Seorang pemimpin politik cerdas, militer yang keras, sekaligus imam spiritual yang lembut. Konsep perjuangannya tak seliar Musa, yang menenggelamkan habis pasukan Faraoh di kedalaman samudera. Juga tak sepasrah Yesus yang masochist akan pipi-pipinya. Tak lain adalah, bahwa diijinkan berperang apabila diperangi.

Tidak, saya tidak sedang bicara perang, tapi cinta.

Elemen Cinta dan Faktor Perekat

Elemen pertama adalah; Nafsu. Yang mengejawantah kepada diri Musa. Pemuda panas dengan tongkat tegak membara. Yang dengan amarah mampu membanting pecah tablet perintah, kekuatan pukulannya membunuh pemuda Mesir, dan yang bersama energi perlawanannya mampu membelah lautan Merah. Tongkat Musa itulah yang kelak menjadi ikon kedigdayaan nafsu pria. Nafsu adalah energi dahsyat yang mematikan.

Elemen ke dua adalah; Kasih Sayang. Terlihat jelas pada diri Yesus, sosok yang penuh kelembutan. Ajaran kasihnya jauh dari kekerasan dan birahi. Yang dengan kasih mampu menyembuhkan. Dengan sayang menghidupkan merpati, bahkan energi yang sama membangkitkan Lazarus dari mati. Kasih sayang adalah energi lembut yang menghidupkan.

Di dalam cinta, kedua elemen itu haruslah ada. Dan harus bergelut bersama. Menghilangkan salah satu-nya, dan atau tidak terjadi pergelutan, akan tak layak disebut cinta.

Muhammad, tokoh yang mampu mempertemukan spirit ke dua seniornya itu ke dalam dirinya. Dan sepertinya dia mampu meramu keduanya dalam kolaborasi nan sempurna. Sayangnya, ramuan perekat itu tak diwariskan kepada kita. Dia hanya meninggalkan dua perkara yang konon apabila mengikutinya, akan selamatlah kita. Tapi bukankah kita juga butuh semacam panduan bercinta? Saya sih percaya Muhammad memang pintar bercinta, namun dengan tanpa meninggalkan buku semacam Asmaragama, Kamasutra, dan Art of Love, ya sia-sia saja kepiawaiannya. Ujung-ujungnya, untuk hal ini dia malah menyerahkan kepada kita. “Urusan dunia, umatku lebih tahu biar mereka sendiri yang menentukan”. Parahnya, dia tak mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Ada pemahaman bahwa, segala yang diluar warisannya tak layak dipercaya. Bisa bid’ah, bisa sesat. Maka janganlah heran kalau ada yang lantas menyatakan bahwa pacaran itu haram.

Agama itu semakin menjauh dari cinta, tak seperti nabinya yang pecinta.

Faktor Perekat; Adalah Apa. Ini yang sama-sama kita cari. PR dari Sang Nabi. Urusan dunia yang harus kita putuskan sendiri. Sebenarnya tugas yang menyenangkan, tetapi karena bukan urusan perut dan otak, yang terjadi malah disepelekan atau dianggap sia-sia melelahkan. Dan hasilnya;

1) Faktor itu dinafikan dengan cara menjauhkan umat dari cinta dan kenikmatannya. Misalnya dengan mewaspadai bahwa keindahan tubuh mengandung bahaya, pacaran adalah dosa, keperawanan harus dijaga, dan Onani bisa buta. Atau…

2) Faktor Perekat itu diterjemahkan saja secara sederhana: Pernikahan. Bahkan acap pernikahan malah menjadi hal utama yang memecundangi dua elemen penting tersebut. Pemecundangan itupun diformulasikan dengan sakramen cantik: Setia dalam suka dan duka, dalam miskin dan kaya, dalam sakit dan sehat”. Kita harus setia penuh kasih mesra di tengah hutang bertumpuk dan tak mampu menyekolahkan anak. Harus menerima suami yang kontolnya dilibas diabetes. Tak lain karena pernikahan itu harus dijaga.

Pemecundangan elemen juga terbaca di beberapa hadist yang sanadnya berbeda di sana-sini, tetapi bermuara sama: “Yang tidak menikah tidak termasuk umatku”. Tegas sekali bahwa pernikahan itulah yang dipentingkan. Terlebih disertai nada ancam, orangpun berbondong menikah meski tak sampai setahun bubrah, demi terdaftar sebagai umat Rasulullah.

Atau yang dimaktubkan dalam ayat suci bahwa lelaki boleh kawin lagi, istri yang soleh harus bisa mengerti. Dan dengan mekanisme survive yang sulit saya pahami, para istri itu lantas mengelus diri bersama kalimat apologi: “Dengan meridhai suami menunaikan kalimah Allah, niscaya Allah akan semakin mencintai kita. Ingatlah cinta Allah lebih besar. Bahkan dibanding suami”. Sebuah penyebandingan yang luput tatkala besarnya syahwat suami disetarakan dengan besarnya syafa’at Allah. Duh! Tak lain karena pernikahan itu harus tampak sakinah, mawadah, wa rahmah.

Dan datanglah para penelikung ayat dan sabda. Dengan dollar atau Riyal berkawin kontrak bermesum legal. Dengan selembar surat, sah sudah menikmati aurat memanjakan urat. Atas nama pernikahan semacam ini sebuah prostitusi telah diridhai. Sedang prostitusi sendiri tak lain adalah pemerkosaan terselubung. Karena yang ada adalah orang berhubungan kelamin dengan terpaksa. Salah satu terpaksa melakukan untuk mendapat uang, dan yang satu lagi terpaksa membayar agar terhindar dari tanggung jawab. Apakah Anda masih melihat bedanya antara pemerkosaan terselubung ini dengan pernikahan beralas tikar Riyal? Atau pernikahan dengan anak kecil bermahar jabatan menejer?

Ah, sesungguhnya tak mau repot mengulas ketidakpentingan-nya arti pernikahan. Apalagi ditonjolkan betapa penting pernikahan dengan ancaman dipersona non-umatkan bagi yang tak melakukannya. Saya tak suka diancam.

Sejauh ini saya belum berhasil menemukan apa sesungguhnya perekat yang dimaksud. Barangkali; Semacam pengertian, penghormatan, kepercayaan, dan pembebasan? Sebuah chemistry, sebuah kemesraan yang sederhana? Sebentuk komitmen? Mencari tanpa berharap menemukan asyik juga… (Bersambung)

This entry was posted in Budaya. Bookmark the permalink.

67 Responses to Giliran Saya Bercinta!

  1. cechgentong says:

    bacanya nanti terlalu panjang butuh konsentrasi dan agitasi diri

  2. agamfat says:

    sangat inspiratif. mengutip yesus, muhammad, gandhi, sampai bicara kontol diabetes hahaha…sayang yang namanya cinta sudah dikomersialkan. kasih sudah menjadi nama partai, yang kalah melulu. cinta istri pertama kalah oleh istri muda yang mantan model, padahal kerjaannya mengelola hati.

  3. inyong says:

    cinta dan kasih sebenernya itu hati kang……dengan hati yang tulus dan bersih aja makna maka cinta dan kasih sayangbukan hanya dimulut saja

  4. dollantefran says:

    Tulisannya menarik, sepertinya perlu saya bahas panjang kali lebar juga di postingan saya, tunggu tanggal mainnya yess…

  5. ujiarso says:

    dowo tenan, cak marto

  6. orangketiga says:

    as usual: qeren. 🙂

  7. sepunten says:

    panjang ye heee?…pertama suka “penemuan” LQ, dimana sekarang udah ada IQ-EQ-SQ-AQ (AQ: attitude quotient)kedua suka analogi/pola putih-pink-merahnya walaupun penjabaranya bisa relatif tapi intinya okketiga: penjabaran berikutnya memang ini versi mas Marto abees hee… sbb kalau ditilik dari versi cinta Robert J Sternberg ada 7, dari John Allan Lee ada 6, dari bahasa Ibrani ada 4, belum lagi kalau menurut cinta “hakikatnya” sufistik akan lebih lebar lagi viewnya… selamat berenang dilautan cinta heee 🙂

  8. mas marto..sejak kapan tuh valentin jadi Bulan Suci??

  9. agamfat says:

    Sejak NU dan Muhammadiyah sepakat Valentine Day jatuh tanggal 14 Februari, sementara MUI tidak hehehe

  10. klewang says:

    martoart said: Wilayah psikologis di mana tercipta atau tak tercipta rasa sir. Tapi yang pasti juga akan lebih turun lagi menuju organ kelamin. Ranah biologis di mana tercipta rasa cret.

    jika dilakukan dengan brutal, akan terjangkit “kaing-kaing”..

  11. martoart says:

    >Kang Gentong n Dab Ujiarso; Iya nih saya nulis seperti nafsu banget nglunasi utang. Jadinya panjang. Tapi silakan baca sampe kelar. inipun masih bersambung. he he>Agam; Cinta memang seksy. bisa buat apa aja sesuai keperluan>Cinta dan kasih? lho, dalam konsepku ini kasih dah masuk dlm cinta. Ya setuju. memang gak cuma di mulut, kalo bisa di seluruh tempat. jangan lupa di kelamin juga.>V; I Love too…>Irfan; Trims bro>Heri; Asal jangan tenggelam ya..>Hudin; Sejak setiap orang tidak perlu takut memilih diksi, sejak menentukan bulan suci bukan sekadar hegemoni yang merasa merasa paling berhak.>Klewang; Versi Jepang ya? tanya Luqman tuh pakarnya.

  12. notapearl says:

    martoart said: Saya teringat lagunya Slank; “… I hate u but, I need u my girl …”

    belum di ganti neh….

  13. 2 questions, Pakde:1) Is it one of your excuses to remain unmarried?2) What sort of love did Adipati Karna have, then? Quoting a friend’s interpretation – who happens to be a puppet master (dalang) – that he kept Bratayudha on due to his love to Pendawa and hatred toward Kurawa, despite the knowledge that he’d loso his life?Mas Aji, please don’t say a word yet…

  14. klewang says:

    martoart said: >Klewang; Versi Jepang ya? tanya Luqman tuh pakarnya.

    betul. desertasinya mengenai Miyabi itu lho, hebat..

  15. klewang says:

    yashartaholic said: Mas Aji, please don’t say a word yet…

    gak melok2..

  16. martoart says:

    >Cenil; Trims ya..>Pearl; kamu yg edit di komen deh, dan dengan begitu terima kasih banget tulisan ini teredit (karena kalo aku edit, n reposting, susah secara teknis).>Trias; 1) he he… bisa aja kamu. 2) Yang dijalani Karna rasanya bukan cinta. Kasih sayang aja terhadap Pandawa dan perang itu sendiri. Nafsu syahwati gak bermain di sini. Komen-mu ini mustinya untuk postinganku yang edisi hari pahlawan. (eh, semoga jawabanku ini nyambung ya.. maklum nilai boso londoku 4.5)>Klewang; bener, gak usah melok2. soyo mumet aku ngko.

  17. orangketiga says:

    martoart said: Sejak setiap orang tidak perlu takut memilih diksi, sejak menentukan bulan suci bukan sekadar hegemoni yang merasa merasa paling berhak.

    touche. heheh. verry nice.

  18. belum komen… karena masih bersambung

  19. martoart said: 2) Yang dijalani Karna rasanya bukan cinta. Kasih sayang aja terhadap Pandawa dan perang itu sendiri.

    Whoa…we need to chat, Pakde! When will you be available? I’ll use Bahasa, I promise. It’s just too long to discuss when stealing some minutes only from my lunchtime.

  20. martoart says:

    >Trias; Yap, kapan. bisa kutunggu di YM atau Skype deh. Please PM your YM/Skype ID.>Doni; Yap kutunggu juga.

  21. luqmanhakim says:

    Formulaku sih simple ae Cak… Pendapat umum: Cinta ≠ SeksFormulanya: Nikah = SeksCinta = Nikah = SeksKalo disempitin sebenernya Cinta = SeksJadi, hidup Seks! Ya ya ya…(Lagi pekok abis nih!)

  22. luqmanhakim says:

    martoart said: Versi Jepang ya? tanya Luqman tuh pakarnya.

    Pemerhati Cak! Udhu pakar…

  23. alter3ego says:

    Temuanku so far: “penghormatan” itu jadi perekat, panduan, sekaligus tolok ukur kapan exit strategy perlu “mulai” dipertimbangkan.

  24. ainizr says:

    Sedang prostitusi sendiri tak lain adalah pemerkosaan terselubung. Karena yang ada adalah orang berhubungan kelamin dengan terpaksa. Salah satu terpaksa melakukan untuk mendapat uang, dan yang satu lagi terpaksa membayar agar terhindar dari tanggung jawab….I like this sentences

  25. ikiengel says:

    wehehehehheehheh,…..dowo banget..apik-apik…iki yen diedit bener..bisa jadi buku

  26. martoart says:

    Luqman, klakuan… 😉

  27. martoart says:

    alter3ego said: “penghormatan”

    hmmm… boleh, silakan…ayo siapa lagi?

  28. martoart says:

    ainizr said: I like this sentences

    Termasuk kalimat sebelumnya Aini? yg menyiratkan bahwa pernikahan juga bisa aja menjadi sebuah selubung prostitusi? he he he…

  29. martoart says:

    ikiengel said: dowo banget

    Lanjutgan! maseh tiga lagi tuh… he he..

  30. themomster says:

    tulisannya bagus mas, n sangat open minded…i like it! ‘menegakkan hati dengan rasa cinta (setuju dgn tidak menyebutnya liver..hehehe), untuk kemudian menegakkan organ2 tubuh lainnya’, gimana? 😛

  31. inyong says:

    tumben awakmu briliant masalah cinta

  32. martoart says:

    inyong said: tumben awakmu briliant masalah cinta

    ah, elo lom tau aja wak kaji…

  33. penuhcinta says:

    Numpang membaca. Bagus (gaya Pak Tino Sidin).

  34. martoart says:

    penuhcinta said: Numpang membaca

    seeep. jangan cuma selesai di seri pertama ya?

  35. seri 1 – 4 sudah saya baca semua. menggelitik, menggoda, merangsang (untuk berpikir :p) hehehehehehe…..suka suka suka 😀

  36. martoart says:

    wikan said: bagus

    Trims Wikan. Sila lanjut ke berikutnya.

  37. rirhikyu says:

    cechgentong said: bacanya nanti terlalu panjang butuh konsentrasi dan agitasi diri

    eh ada om cech juga disini?**baru tau**

  38. rirhikyu says:

    aku lanjut ya cak… bacanya ^_^

  39. darnia says:

    pengen tak jadiin e-book aja deh T_Tra iso lek mung sepisan lek ne moco

  40. rirhikyu says:

    darnia said: pengen tak jadiin e-book aja deh T_Tra iso lek mung sepisan lek ne moco

    ho’oh

  41. itsmearni says:

    doh panjangnya………….*nyicil baca dulu mbah*

  42. zaffara says:

    martoart said: Semacam pengertian, penghormatan, kepercayaan, dan pembebasan? Sebuah chemistry, sebuah kemesraan yang sederhana? Sebentuk komitmen? Mencari tanpa berharap menemukan

    Sangat suka, ungkapan makna perekat cinta yang jujur. Namun cinta disini masih terasa berbasis hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimana dengan cinta kepada Ibu? cinta kepada anak ? cinta kepada orang yang papa?

  43. martoart says:

    zaffara said: Bagaimana dengan cinta kepada Ibu? cinta kepada anak ? cinta kepada orang yang papa?

    Trims Fara,Kamu bisa temukan itu di seri ke dua (sambungannya), tapi di situ aku tidak secara langsung menampilkan obyek. Hanya garis besarnya, yang mana cukup mampu memandu ke arah itu ku rasa. selamat melanjutkan. 🙂

  44. zaffara says:

    martoart said: selamat melanjutkan. 🙂

    Belum nemu lanjutannya (krn belum nyari hehe). Judulnya pake Cinta 1, Cinta 2, Cinta 3 gitu nggak ?

  45. martoart says:

    zaffara said: Belum nemu lanjutannya

    kan di akhir tulisan ada ‘Next’ (di bawah). Nah, tinggal diklik, di situ ada judulnya juga: Giliran saya Bercinta! (2). Begitu juga selanjutnya. Monggo..

  46. zaffara says:

    Udah baca semua (sampai Tersanjung-4 eh Giliran Saya Bercinta 4).Bukan sok semuci, tapi saya lebih nyaman komentar disini aja ya :)Definisi cinta-mu masih berfihak, dan begitu juga dengan pengertian nafsu, masih sekitar hal yg sama.Mas tahu kisahnya mas Pepeng Soebardi ? di atas kasurnya kini setiap hari menjalani kehidupannya. Istrinya pernah mengambil ulat-ulat di dalam daging kakinya dengan pinset setiap hari, dan saking susahnya ia mengambil ulat itu, mas Pepeng menyuruhnya menggunting sedikit kulitnya dan istrinya melakukannya. Saya ingin bertanya, apakah namanya hubungan mereka sekarang ?Dalam konsep cinta yang mas paparkan, hubungan mereka tentu bukan cinta.Dalam konsep cinta saya, itulah cinta sesungguhnya (kalaupun mengambil contoh hubungan laki & perempuan).Entah apa karena saya perempuan (melihat rumus cintanya mas Luqman kayaknya bakal dituduh begitu deh 🙂 saya memandang cinta tidak sekedar dari sudut birahi (fisik). Saya kagum dengan pasangan2 yg hingga hari tua mereka masih bisa menikmati cinta mereka dengan kerapuhan fisik mereka. Banyak pasangan yg menyukuri keindahan cinta mereka dimasa muda dengan memberikan pengorbanan dan kesetiaan di masa sulit dan tua mereka. Contoh seperti pasangan mas Pepeng tadi, atau kisah cintanya B.J. Habibie dan beberapa yg tidak banyak lagi. Dalam keadaan seperti itu, fihak yang sehat bukan tak punya nafsu birahi, tetapi ia menghormati keadaan pasangannya.Konsep nafsumu juga masih berkisar di”situ” yang tentu saja bagian dari kebutuhan yang manusiawi. Bagaimana dengan makan-minum, hidup layak, pakaian bagus, rumah yang layak yang jika tidak dikendalikan bisa seruduk sana-sini juga mencarinya. Apakah itu bukan nafsu juga ? yang sesungguhnya dibutuhkan dalam dosis tertentu agar manusia bisa tetap hidup.Atau mungkin bisa saya tunggu di postingan berikutnya, siapa tahu konsep cintanya belum selesai :)But however , I appreciate all of your thoughts. I mean it.So, selamat bulan suci valentine (walau terlambat) Trims sudah berbagi ya 🙂

  47. martoart says:

    zaffara said: seperti pasangan mas Pepeng tadi, atau kisah cintanya B.J. Habibie dan beberapa yg tidak banyak lagi

    Juga kedua ortu saya.Tulisan saya mungkin agak susah dicermati, karena banyak satir dan parodi. Saya menyadari itu. Tapi saya dengan senang hati kembali mengurai bersama diskusi ini. Begini, Saya menggaris Cinta (human love) adalah sesuatu yang memiki elemen lengkap (Nafsu dan Kasih-sayang), tapi yang perlu dipahami adalah bahwa ‘lengkap’ bukan berarti sebuah capaian tertinggi. Pada frame dan sudut pandang yang berbeda, Sayang (angle devotion) yang melepaskan Nafsu, ‘Kehilangan’ Birahi (artinya tidak Lengkap lagi), bisa dikatakan lebih tinggi kualitas relationships-nya.Ketika Manusia mengalami penuaan (ataupun sakit), biasanya berbanding lurus dengan penurunan Nafsu, tapi di satu sisi – sebagaimana hukum alam yang bersifat mengisi kekurangan -, Kasih akan meningkat. Artinya apabila akhirnya prosentase Kasih mengisi ruang yang ditinggalkan Nafsu, Cinta Manusia berubah menjadi Kasih Malaikat. Ortuku, semakin sepuh justru semakin menjadi seperti Teman. Bukan seperti Pacar ketika mereka muda.Hubungan Ortuku di saat tua, Habibie di saat istrinya koma, Istri dan Pepeng saat menandang derita adalah bukan Cinta, tapi Kasih-sayang.Rasanya ini hanyalah kebiasaan berbahasa, Anda hanya tak tega menyebut mereka tak lagi saling CINTA. Padahal justru seharusnya memang itu yang terjadi, karena mereka berubah saling SAYANG.

  48. martoart says:

    zaffara said: Konsep nafsumu juga masih berkisar di”situ”

    Tentu saja, karena saya sedang membahas tentang CINTA. Saya tidak sedang bicara KULINER. Tentu agar lebih fokus membahasnya.Tunggu deh, kalau saya nanti laporan resep masakan, pasti Mak Nyus, bukan Mak Crot he he he…

  49. martoart says:

    zaffara said: Nambah dikit.

    Wadaoooh… kok malah nyanyi.

  50. zaffara says:

    martoart said: Wadaoooh… kok malah nyanyi.

    Iya barusan nemu di fesbuk hehe, ta’ boyong kesini deh 🙂

  51. zaffara says:

    martoart said: Rasanya ini hanyalah kebiasaan berbahasa, Anda hanya tak tega menyebut mereka tak lagi saling CINTA. Padahal justru seharusnya memang itu yang terjadi, karena mereka berubah saling SAYANG.

    Mungkin memang disini “masalahnya”

  52. martoart says:

    zaffara said: ta’ boyong kesini deh 🙂

    Jangaaaaaannn…..!

  53. martoart says:

    zaffara said: Mungkin memang disini “masalahnya”

    Saya menyadari banyak yg tak rela dengan itu, Sampeyan tidak sendiri yang tak tega. Tapi saya akan sampaikan hal ini dengan tega, karena lebih correct secara filosofis, dan lebih fokus secara maknawi. Meski terdengar rasanya agak kejam bagi yg tak terbiasa.

  54. zaffara says:

    martoart said: Jangaaaaaannn…..!

    OK, hapus aja ? maaf ya 🙂

  55. zaffara says:

    martoart said: karena lebih correct secara filosofis, dan lebih fokus secara maknawi.

    Statement ini masih harus diuji, karena dlm pandangan sy ini masih berbasis cinta laki-laki dan perempuan.Jika nafsu dan cinta didefinisikan seperti yg mas jelaskan, kalau begitu tidak ada cinta antara orang tua dan anak, cinta kepada orang yang miskin (ada anjuran dari Nabi saw untuk mencintai org miskin, walau kata sayang masih bisa masuk disini), cinta hamba kepada Tuhan (ada pernyataan dalam kitab suci tentang istilah cinta kepada Tuhan seperti contohnya sabda Nabi saw ini :”Jika kalian mencintai Tuhanmu, maka ikutilah aku”). Ada istilah “cinta” yang diungkapkan disitu bukan sayang. Jika cinta harus memuat nafsu seperti yang mas gambarkan, dan apabila tanpa nafsu maka telah tak mungkin ada cinta, maka kata cinta menjadi sempit maknanya.

  56. martoart says:

    zaffara said: kalau begitu tidak ada cinta antara orang tua dan anak

    Memang sebaiknya tak ada, karena akan menimbulkan incest. Sekali lagi ini masih seputar rasa tak tega cara berbahasa aja.Untuk cinta dlm bhs Quran (yg melekat dgn bhs Arab), tidak menjadi bahasan khusus tulisan ini. Tentu saja tiap bahasa memiliki makna yg berbeda. Definisi Cinta saya pastilah belum sempurna, tapi sengaja memijak pada kajian general. Makna cinta menyempit? Rasanya sudah saya jelaskan hal ini.

  57. debapirez says:

    Test. Beneran Cak Marto neh. Ck..ck..ck..

  58. afemaleguest says:

    Kang,mengenai 3 jenis warna cinta, pada tingkatan dan satu masa tertentu, aku rasanya lebih condong ke yg warna putih, terlalu pasif, dan hanya menunggu karma berproses. sehingga terkesan sangat pasif dan nrimo.padahal sekarang aku menjelma menjadi seseorang yg tdk percaya adanya life after death.sementara aku juga ga (atau belum) percaya reinkarnasi, so kapan ‘balasan karma’ itu datang ya? :pbtw, chemistry bisa juga dikarenakan membaca tulisan yg cerdas bagiku, jadi bukan melulu didorong oleh indra pandang, dengar, maupun raba spt yg tertulis di atas. dan chemistry ini bisa juga lho turun ke hati, dan ke otot2 kelamin :pI love reading ur discussion with Fara here =)

  59. afemaleguest says:

    minta ijin tak share ke FB ya Kang?mumpung Valentine’s Day nih. happy Valentine’s Day too for you.Ais lafe ye, amory^_^v

  60. martoart says:

    afemaleguest said: minta ijin tak share ke FB

    Dipersil. Yipikaye…

  61. debapirez says:

    tulis lg dong Cak utk tahun ini…

  62. afemaleguest says:

    heheheh …dikomentarin an online buddy yang kukenal sebagai “Birru Sadhu””Lho, mbak Nana kenal Marto Art juga toh”^_^

  63. wikan says:

    baca kultum dulu, he he 🙂

Leave a reply to martoart Cancel reply