Jalan-Jalan Suro

[Tulisan lama saya di Majalah Djakarta!, saya edit dan sajikan untuk merayakan Suroan]

Sekitar setengah enam pagi saya turun di Perempatan Kartonyono, Ngawi. Setelah selama delapan jam dibawa ngebut oleh sopir bis, sejak berangkat dari Terminal Rawamangun. Ngawi masuk wilayah Eks-Karesidenan Madiun. Menjadi pintu gerbang sebelah barat Jawa Timur apabila Anda masuk dari Surakarta. Jalanan di Kota Ngawi lebar dan halus namun seperti sia-sia. Tidak banyak kendaraan roda empat yang melewatinya. Kota yang tenang cenderung diam, seperti memendam sebuah rahasia. Akronim revolusioner “Berjuang” peninggalan Orde Baru yang mengikuti nama kota ini menjadi tidak bermakna apa-apa. Geliat perjuangan tidak terasa. Sawah ladang sudah lama ditinggalkan pemudanya untuk mengadu nasib di kota lain yang lebih menjanjikan. Hanya orang tua dan pensiunan yang betah tinggal diketenangannya.

Ngawi bukan sekadar sebuah perbatasan geografis. Kota ini juga sebuah wilayah irisan budaya. Percampuran antara keterbukaan yang cenderung telanjang orang Jawa Timur, atau disebut “Wong Etanan”, dengan ketertutupan dalam kemasan santun orang Jawa Tengah. Seorang kawan lama yang iseng bahkan dengan antusias membuka beberapa hal yang menurutnya menunjukkan perbedaan khas Jawa Tengah – Jawa Timur. Kawan satu ini memulai dengan – istilah dia – ; “Analisa Senjata”. Menurutnya, dua daerah yang yang berdekatan (Seperti Jawa Tengah – Jawa Timur), tidak wajar memiliki bentuk senjata yang secara fisik jauh berbeda. Senjata itu keris (Jawa Tengah), yang bentuknya terlalu indah untuk disebut senjata, dan clurit (Jawa Timur) yang berpenampilan gahar. Hal ini – masih menurut kawan saya tadi – orang Jawa Tengah lebih mementingkan “Isi” daripada bentuk luar (Sebuah senjata keris, atau apapun), sementara orang Jawa Timur lebih suka bersikap apa adanya. “Seperti halnya clurit, sebagaimana fitrahnya sebuah senjata sebaiknya mampu membuat lawan gentar pada pandangan pertama”, menurutnya lagi. Ngawi sebagai daerah percampuran budaya, tidaklah harus mengacu kepada teorinya tadi. Meskipun Analisa Senjata-nya menarik, saya tidak mau mendengarkan analisa dia berikutnya; Analisa Meta-Politik. Kawan lama saya tadi namanya Lilo Sriyono Wibowo, pekerja yang cukup mapan di Jakarta dan sekadar tahu saja, saat ini dia sedang tekun-tekunnya mempelajari ilmu metafisika.

Pukul 06;30 WIB, usai bebersih diri, saya nongkrong di sebuah warung untuk sarapan pagi menu utama khas Ngawi; Nasi Pecel. Nasi pecel pagi ini cukup komplit terdiri dari rebusan bayam, kecambah, kacang panjang, kembang turi, daun kemangi, ketimun iris dadu, dan yang pasti sambal kacang. Bagi yang suka bisa dicampur dengan dressing lethok. Itu adalah tempe setengah busuk (Medem) yang diuleg dan dimasak sedemikian rupa menjadi semacam saus. Orang Solo menyebutnya Sambel Tumpang karena cara menyajikannya ditumpangkan di atas sayur tersebut. Lauknya bisa Anda pilih sesuai selera. Ada empal, telor asin, serundeng daging, kering tempe, tempe goreng, ayam panggang, kerupuk, atau rempeyek. Minuman yang saya pesan adalah wedang teh nasgithel (Panas, legi/manis, dan kenthel/kental). Warung yang bersih ini letaknya di taman kota dalam area alun-alun Merdeka. Sambil menyantap nasi pecel, saya mulai memetakan konsep alun-alun di mana saya marung

Sebuah Per-empatan Pertemuan

Dilihat dari kehadiran fisiknya, alun-alun sungguh tidak memiliki nilai ekonomi, dan layak untuk segera dijadikan area yang lebih produktif. Sebuah lapangan luas persegi empat di pusat kota yang hanya ditumbuhi rumput dan satu-dua tanaman yang tidak bernilai produksi. Namun dari sudut pandang budaya Jawa – yang sangat menyukai simbol-simbol -, alun-alun memiliki peran sebagai alat perantara untuk menguraikan atau menggambarkan sesuatu. Tepatnya dipakai sebagai media budaya oleh orang Jawa1. Dalam budaya klasik Jawa, alun-alun adalah lapangan luas yang disusun dalam konsep kosmografi Macapat. Macapat adalah salah satu tembang alit/kecil Jawa yang menggunakan Guru Wilangan atau hitungan berbilang per-empatan. Artinya alun-alun berfungsi dan dimanfaatkan sebagai halaman luas bagi empat bangunan penting secara bersama. Yaitu gedung pemerintahan, tempat ibadah, pengadilan, dan penjara. Gedung pemerintahan yang dulu keraton atau kadipaten, tentu saat ini berupa kantor kabupaten. Tempat ibadah pada masanya bisa berupa pura atau wihara, saat ini berdiri masjid2. Sebelah selatan berdiri penjara, dan sisi timur gedung pengadilan/kejaksaan3.

Konsep kosmografi berikutnya adalah, alun-alun sebagai titik pertemuan antara “Dunia Atas” dengan “Dunia Bawah”. Dunia Atas disimbolkan dengan gunung atau dataran tinggi. Tempat tinggal dewa-dewa. Dunia Bawah disimbolkan dengan laut, sungai, danau, atau dataran rendah. Tempat bermukim jin, peri, dan mahluk halus lainnya. Sebagai meetin
g point, posisi alun-alun berada di antara dua dunia tersebut. Itulah juga salah satu sebab kenapa alun-alun selalu terbelah oleh jalan lurus membujur. Jalan membujur dengan pintu gerbag dua pohon beringin, di mana itu sesungguhnya adalah sumbu imajiner yang menghubungkan dua
dunia.

Contoh tata kota yang menerapkan konsep sumbu imajiner ini adalah Yogyakarta. Sumbu imajinernya menghubungkan Gunung Merapi – Tugu – Alun-alun – Keraton – Panggung Krapyak –Laut Selatan. Untuk hal ini, para aktivis Dagadu (Produser T-Shirt terkenal di Yogyakarta), memberi istilah plesetan nan cerdas dan lucu dari Cartoon Network dengan menyebutnya “Keraton Network”. Sumbu imajiner rupanya memang sakral, sehingga Presiden Soeharto ketika mempunyai ide membangun monumennya menghendaki agar terkait dalam garisnya. Boleh jadi dia cerdas seperti anak Dagadu, tetapi yang pasti tidak lucu, atau sebaliknya; Lucu, tetapi tak berjiwa Dagadu. Dan Monumen Jogya Kembali (Monjali) itu gagal mengaitkan diri. Monumen berbentuk tumpeng raksasa itu akhirnya dibangun di jalan Lingkar Luar Utara Yogyakarta.

Meskipun sumbu imajinernya tak selurus Yogyakarta, Ngawi memiliki aset supranatural yang sempurna. Pertama; Di Gunung Lawu terdapat Alas/Hutan Ketonggo – sebagai dunia atas -. Alas Ketonggo adalah wilayah ziarah yang sangat diperhitungkan oleh para supranaturalis. Sebab dalam Kitab Jangka Jayabaya (Raja Kediri yang memerintah dari tahun 1135 – 1157 M), disebutkan bahwa Sang Ratu Adil akan turun di hutan ini. Di Hutan Ketonggo banyak terdapat petilasan/peninggalan moyang. Juga banyak tempat bermeditasi bagi yang percaya akan datangnya Sang Mesiah. Kedua; Di utara kota terdapat Kali Tempuk. Yaitu tempat bertemunya dua arus sungai besar di Jawa. Kali Madiun dengan Bengawan Solo. Lokasi Kali Tempuk dipercaya sebagai dunia bawah-nya Ngawi. Mungkin sedikit berlebihan, tetapi dunia bawah di kedua sungai tersebut boleh kita terjemahkan sebagai dunia wong cilik, dunia kelas proletar. Ada potongan sejarah muram dan buram yang dipergelap oleh rejim Orde Baru di tepian Bengawan Solo itu. Adalah kisah Mbah Suro Nginggil, orang pintar tempat para muda menimba ilmu. Singkat cerita, padepokannya dianggap tempat menggalang masa oleh Orba, dan begitulah galibnya tabiat penguasa di mana saja, mereka selalu gerah dengan hal semacam itu. Siswa yang belajar di padepokannya mudah dideteksi dari atribut yang biasa menyertai atau dikenakan. Adalah Pecut (Cambuk), Kolor (Celana hitam kaum petani), dan Iket (Ikat kepala). Ketiga atribut itu memperkuat alasan penguasa untuk menangkapnya. Dengan sedikit menggunakan kecerdasan para intel Orba, kita menjadi tahu bahwa rangkaian huruf awal dari masing-masing atribut tersebut akan terbaca; PKI. Ah, alasan yang benar-benar masuk akal-akalan. Maka kisah Mbah Suro, bermula dan (di)berakhir(kan) di Bengawan Solo.

Kisah yang mengalir di Kali Madiun tidak kalah seru. Arus sungai itu adalah juga arus kepedihan rakyat sekitar. Ibu saya satu dari sekian penyaksi sejarah saat air sungai itu memerah darah. Dan memang darah. Mayat-mayat dirangkai empat-empat atau lima-lima menjadi rakit. Mayat laki-laki telentang, dan perempuan telungkup. Ikan-ikan berkembang biak pesat dan gemuk, tetapi tak ada penduduk yang mau mengambil di sungai, ataupun membelinya di pasar. Konon ada sepucuk jari lengkap dengan cincin kawin ditemukan di dalam perut ikan saat dibetheti/dibuka. Itu terjadi di jaman pembantaian pasca 1965.

Dan di pertemuan kedua sungai inilah banyak orang laku ngelmu alias mencari ilmu ghaib juga ngalap berkah alias menangkap kekuatan yang terhanyut di arusnya. Dengan cara merendam diri tepat di tengah malam, ritual itu dikenal dengan Topo Kungkum. Mereka percaya arus air dari kedua sungai besar tersebut membawa energi yang berbeda. Pagi ini saya juga telah mendapatkan energi yang berbeda dari nasi pecel dan teh nasgithel. Energi yang cukup untuk pergi ke Alas Ketonggo, meliput sebuah hajatan yang diselenggarakan setiap Bulan Suro di sana.

Perjalanan Ke “Dunia Atas”

Alas Ketonggo berjarak 15 km di barat daya Kota Ngawi. Perjalanan bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor tidak lebih dari setengah jam. Jalanan menjadi agak kasar sekitar dua kilo menuju lokasi hajatan. Itu karena aspal tidak melapis masuk hingga wilayah ini. Tapi itu cukup mudah dilalui untuk mencapai lokasi hajatan. Tepatnya di sebuah bangunan besar limasan4 yang seluruhnya dari kayu jati nomor satu. Kontras dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Pemilik bangunan tersebut adalah Si Jambrong. Dia bukan seorang atau keturunan penetap desa pertama sebagaimana wajarnya pemilik rumah limasan, tapi seorang paranormal yang handal. Nama aslinya Jangkung Sujarwo. Dia mengaku hampir seluruh laku spiritual telah dijalani. Dalam berpraktek spiritual dia terinspirasi filosofi Kali tempuk, yaitu menggabungkan ilmu ujung barat Tanah Jawa (Saat belajar di Banten), dengan ilmu ujung timur Tanah Jawa (Belajar di Banyuwangi).

“Suroan”, begitu Orang Jawa menyebut upacara spiritual yang dilaksanakan pada Bulan Suro. Bulan di mana oleh para Penghayat Kepercayaan dan Kejawen dianggap sebagai bulan yang baik untuk membersihkan diri, mencuci azimat seperti keris dan tosanaji, serta saat tepat melakukan ritual Ruwatan. Ruwatan, siapapun boleh melakukan ritual ini baik secara perseorangan ataupun kelompok, asal ada pada kaidah “Hari Baik” di Bulan Suro. Hari baik yang paling popular adalah Tanggal 1 Suro dan Tanggal 15 Suro. Hajatan Ruwat Suroan di kediaman Si Jambrong ini dilakukan oleh sebuah kepanitiaan. Hari baik yang dipilih adalah tanggal 15 Suro (Yang saat itu disetarakan dengan Tanggal 18 Maret 2003).

Ruwatan hari itu bertajuk; “Meruwat Nagari, Menggayuh Damai Pertiwi”. Dari judulnya, terlihat ada niatan menjadikan hajatan tersebut tidak sekadar berhenti pada sekala lokal. Dan memang di buku tamu tertera nama beberapa tokoh yang hadir di antaranya; DR. Muhtar Pakpahan, KH. Nuril Arifin, DR. Damardjati Supadjar, Oesodo HS S.Sos, dan Kangjeng Soesoehoenan Pakoeboewowno XII. Dari ubo-rampe/kelengkapan upacara yang dipakai juga tampak lebih dari biasa, seperti misalnya; Tumpeng/Nasi kenduri yang dibentuk kerucut setinggi 1 m dengan diameter 1,5 m, juga ingkung kerbau yang dimasak dalam wajan baja berdiameter 2,5 m, kedalaman 80 cm, dan ketebalan tiga centimeter. Wajan yang beratnya 1 ton 33 kilogram itu dipesan di Klaten, Jawa Tengah seharga 10 Juta rupiah. Kalau saja Jaya Suprana tahu, mungkin wajan itu akan dicatatkan di Musium Rekor Indonesia (MURI) miliknya sebagai wajan terbesar.

Acara dimulai sekitar Pukul 11.00 WIB. Dibuka dengan ucapan selamat datang oleh Si Jambrong selaku tuan rumah. Kemudian Doa Perdamaian dipanjatkan tokoh-tokoh agama dan kepercayaan di depan ingkung kerbau. Ingkung ini kemudian dibagikan merata kepada penduduk setempat. Tentu saja beberapa pidato dari para tokoh yang hadir. Acara ritual berupa tari “Sekar Melathi” yang dibawakan oleh tujuh perempuan yang konon melambangkan pemujaan terhadap bumi. Pada malam harinya digelar hiburan rakyat berupa debus, sulap, campur sari, dan sebagainya. Puncak acara sekaligus penutup adalah Pergelaran Wayang Ruwat semalam suntuk oleh Ki Dhalang Enthus dengan lakon “Sudhomolo”.

Oesodo HS, salah satu penggagas acara ini mengatakan; “Kita memaknai Ruwatan sebagai usaha penyerahan diri secara total dari insan kepada Tuhannya. Dalam kesadaran penuh betapa lemahnya kita di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam wacana ke-Jawa-an, laku ini dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula-Gusti. Diharapkan, efeknya ke depan akan membawa kita untuk bersikap lebih arif. Memahami bahwa kekuasaan yang dimandatkan kepada kita ini justru untuk melindungi yang lemah. Jangan mementingkan diri”. Lebih jauh ketua Paguyuban Warga Ngawi di Jakarta (Ngawitani) ini menuturkan; “Kita harus rajin metani diri (introspeksi), sebab kepentingan yang ada pada diri kita ini, besar atau kecil akan bersentuhan dengan hak orang lain”.

Pendapatnya itu sejalan dengan apa yang disampaikan DR. Damardjati; “Kita harus laku sumeleh, hal ini sangat relevan dengan tema Ruwatan kali ini. Ungkapan yang tepat untuk forum ini adalah: Siapa yang salah-seleh (Whoever does evil will lose). Maka agar seleh-nya bukan karena kesalahan, seyogyanya orang bersikap preventif. Yaitu njangka sebelum njangkah (Berpikir panjang sebelum melangkah)”.

Ruwatan telah usai dan saya telah berada kembali di Jakarta, kembali di dunia normal, kembali harus melangkah cepat kalau perlu tanpa pikir-pikir. Ngawi – Jakarta, dua dunia yang berbeda (atau sama) terserah dari mana melihatnya.

———————————–

1. Budiono Herusatoto, “Simbolisme dalam Budaya Jawa”, Hanindita – Yogyakarta, 1983

2. Saat tulisan ini saya sajikan kembali di Multiply, Masjid Jami Ngawi inipun juga tak lagi berdiri. Ini pasti akan menjadi kisah tersendiri karena penuh kontroversi. Masjid peninggalan Belanda ini layak masuk monumen ordinantie, kategori bangunan tua bersejarah yang seharusnya dilindungi. Masih terlalu bagus untuk direnovasi, tapi juga terlalu sayang dibiarkan bagi yang ingin korupsi. Maka dengan alasan renovasi, saat ini Rumah Ilahi itu telah rata dengan bumi.

3. Sistematika Macapat tidak berlaku lagi karena di sisi timur alun-alun itu berdiri Gedung DPRD.

4. Limasan adalah salah satu bentuk arsitektur Jawa. Bangunan yang atapnya berbentuk trapezium/prisma. Pada jaman dulu menjadi tempat kediaman keturunan penetap desa pertama. (Prof. dr. Koentjaraningrat, “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”, Djambatan, 1975).

This entry was posted in Budaya. Bookmark the permalink.

35 Responses to Jalan-Jalan Suro

  1. martoart says:

    Foto-foto keren yang menyertai tulisan saya di Majalah djakarta! 2003 ini adalah karya Dwi Oblo. Trims berat.

  2. Seperti biasa, artikel sampeyan pasti bergizi tinggi. Matur nuwun infonya.Konsep Macapat alun-alun masih ada di kota-kota lain di Jawa, tapi biasanya memang sudah ada perubahan. Di Malang, pemerintahan dan peribadatan (1 masjid dan 2 gereja) masih disana. Pengadilan sudah direlokasi di Jl. Panglima Sudirman (sebelah stadion Rampal), kalo ga salah sekarang jadi kantor sebuah perusahaan asuransi jiwa. Penjara bergeser ke Lowokwaru (pria) dan Sukun (wanita), dan propertinya sudah jadi mall 3 lantai.Bapak dan almarhumah ibuku – yang asli Madiun – juga jadi saksi sejarah miris Kali Madiun. Konon ada beberapa teman dan saudara beliau yang menghilang tiba-tiba, ketemu udah terapung-apung dengan semua badan mengembung. Salah satu cerita – wah, ketularan semangat mistis Suroan neh – menjelang Gestapu cacing-cacing keluar dari tanah, segitu banyak sampe kalo keluar rumah harus bawa sapu. Berlangsung beberapa hari, para cacing baru masuk sarang setelah lintang kemukus melintasi langit Subuh.

  3. blackdarksun says:

    jadi pengen Nasi Pecel lho…….TFS

  4. bbbnshoes says:

    hmmm…kenyang aku baca tulisanmu mas

  5. agamfat says:

    Kang, sekarang masih suka ngirim tulisan kayak ginian? Sekali-kali ke Rolling Stone bagus tuh, tentu dikaitkan dengan musik.Saya seminggu saya di Yogya malah lupa mau menghubungi sampeyan. Padahal saya penasaran berat dengan kantong-kantong budaya di Yogya. Hanya sempay mampir ke berbagai galeri yang menghasilkan duit dan, kayak Cemeti, Jogja Galeri, dsb

  6. martoart says:

    Wah, Trims man-teman;>Trias; He he , commentmu suka bikin Ge-Er. eniwei, Gedung Pengadilan di Ngawi sepertinya juga dipindah ke Jl. Jend. Sudirman. Gak tahu napa. mungkin mo menyidang para jendral.>Putri; Wah, memang harus pernah mencoba nasi pecel Madiunan. Pasti beda ma yang ada di Jakarta.>Erwina; Kenapa Na? karena Nasi pecel, ingkung kerbau, ikan badher gemuk rasa PKI, atau tulisan yang kepanjangan ya?>Agam; Ada satu redaktur yg suka tulisanku, Dah lama itu bung. Kemudian pernah diminta sih nulis satu orang tokoh musik. tapi sayang aku gak punya banyak bahan tentang dia. Gagal.Eh, aku tinggal di Jakarta Bung. Mmpirlah sewaktu-waktu.

  7. notapearl says:

    tulisan ini di post di MP dlm rangka Suro-an apa rindu kampung halaman?

  8. ujiarso says:

    sugeng warsa enggal mas marto, tadi malam melekan tho?

  9. martoart says:

    >NAJ; Keduanya sayang…>Dab Uji; Sami-sami Dab. sorry menjawabnya sambil kriyip-kriyip ngumpulin nyawa.

  10. dollantefran says:

    wah..wah..beneran kenyang baca tulisannya… tuntas tas tas… ajarin sayaaaaa… soalnya kalo saya suka seenak udel kalo nulis.. hahaha

  11. lainnya says:

    baru perhatiin, itu lho fotonya……..apakah itu dirimu, om ….?

  12. martoart says:

    >Tefi; Ok, sama-sama. ntar ajarin aku juga agar bisa nulis seenak udel. he he .. udelku kurang gitu enak sih.>Putri; Bukan. aku bahkan sampai sekarang belum ketemu dengan Dwi Oblo sang photographer. Cuma sering dengar aja. pernah hampir ketemu waktu pameran di kedai kebun dulu banget. eh, slisipan doang. siapa tahu Dwi Oblo?

  13. luqmanhakim says:

    Seperti biasa Mas, aku selalu telat baca postingan ‘bergizi’-mu, seperti temen-temen juga bilang begitu. Ada beberapa yang mau aku tambahi (bisa jadi nggak berhubungan), he he he, cuma buat romantisme masa lalu aja, nggak apa kan? Maklum yang komentar orang goblog dari blog goblog, ha ha ha…Tentang sekilas Dagadu di tulisanmu:Aku cukup ngerti sejarah orang-orang gila nan kreatif ini. Meski mereka bukan kumpulan anak-anak ISI, lebih ke kumpulan anak-anak Arsitektur UGM angkatan 90 yang gerah karena kreatifnya lebih pada gambar teknis, tapi cukup berhasil menyajikan Yogya beserta gimmick-nya. Kebetulan juga dulu aku kost di belakang gedung Arsitektur UGM (yang sekarang jadi gedung MM UGM), sempat mengenal beberapa personilnya, dan sekarang memang asli jadi hebat dagadu itu.Tentang 1 Suro (lebih ke tanggal awal dari bulan Suro):Tahun 1997 aku pernah naik Gunung Lawu sama temen-temen Sastra UGM, ada satu anak ISI yang juga ikut, Mul, anak Seni Patung asli Bandung. Kita naik dan nggak sadar kalo itu tanggal 2 Suro. Di perjalanan naik kita nemui hal yang aneh-aneh. Kembang, dupa, telur sesajen dan tak lupa kemenyannya. Sampe aku tau kalo kemarin tanggal 2 Suro, sampe rumah basecamp tempat kita merencanakan pendakian, penghuninya bilang kalo kemaren Gunung Lawu ditutup untuk umum dan cerita tentang 1 Suro di Gunung Lawu mengalir begitu aja.Sempet juga aku temui hal-hal yang unik dari 1 Suro sebagai bagian dari budaya Jawa:- Di Yogya ada tirakat Mubeng Beteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta tujuh kali tanpa berbicara, diyakini bisa menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Yogyakarta. – Di Parangtritis ada ritual kebatinan, berdoa memohon keselamatan dan ketentraman di pinggir pantai. – Di makam Imogiri, makam raja-raja Mataram jaman dulu juga begitu, banyak yang melakukan ritual berdoa dengan dupa dan kemenyan. – Di lereng Gunung Merapi di daerah Selo, Boyolali, Jawa Tengah ada ritual sedekah, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi dijadikan sesajen untuk Gunung Merapi agar tidak marah lagi dengan letusannya. Terserah gimana nyikapinya, animisme dinamisme yang dilekatkan religi, salah apa nggak, tanyain ke Sunan Kalijaga yang belum melengkapkan secara sempurna ajaran yang ditularkannya ke orang Jawa.

  14. luqmanhakim says:

    martoart said: Ada satu redaktur yg suka tulisanku, Dah lama itu bung. Kemudian pernah diminta sih nulis satu orang tokoh musik. tapi sayang aku gak punya banyak bahan tentang dia. Gagal.

    Ayo Mas nulis ke media lagi! Aku tunggu tulisannya di media!Tapi tetep, kabari aku kalo nongol, jangan kayak sekarang telat lagi bacanya, he he he…

  15. aidavyasa says:

    sungguh aku kenyang makan bareng ma kamu.Posting menawan!.kapan ke solo? 😀

  16. kuasamalam says:

    mas penganut kejawen yahh

  17. martoart says:

    >Luqman; Thx info tambahannya.>V; Wah, postinganku kali ini rupanya biki banyak kaum dluafa kekenyangan. Ha ha ha…>Emg; Tidak dik!

  18. agamfat says:

    kang marto dituduh penganet kejawen tuh hahaha

  19. martoart says:

    agamfat said: dituduh penganet kejawen

    he he, doi penganut anarcho Gam. suatu saat kupertemukan ya. biar tambah banyak barisan anti korupsi kita.

  20. ohtrie says:

    aqu ki mung oleh turahan , tapi nek semene akehe ki ya tetep wareg ta mBah…..amtur nuwun,,, sega pecel lan gudhangane…sesuk jatah sega kucinge ya mBahhhh…:)

  21. martoart says:

    wawawawa.. suguhan suroku gak entek-entek.ah nek mudhik nggasak pecel sak warege…

  22. ohtrie says:

    martoart said: wawawawa.. suguhan suroku gak entek-entek.ah nek mudhik nggasak pecel sak warege…

    huuuuuuu….cita cita koq srakah huuuuuuu…:))

  23. martoart says:

    neng njakarta gak nok pecel sip sih.

  24. ohtrie says:

    martoart said: neng njakarta gak nok pecel sip sih.

    Iya je, ananne mung pecel lele…….mbiyen nang Taman Menteng ngarep mesjid kae sempet ana mBah, tapi mung sedhela, terus bubar jalan ta….

  25. agamfat says:

    Pecel Madiun depan TMP Kali ata oke tuh

  26. papahende says:

    agamfat said: Pecel Madiun depan TMP Kali ata oke tuh

    Sambel tumpange iku sing marahi kangen. Pernah nyoba di warung Kalibata (mungkin bedo karo warung pecel Madiume Mas Agam), rasane ora patiyo jos, mungkin tempe bosoke bedo karo sing nang Njowo. Jaman SMA pernah pernah mendaki Gunung Lawu seko arah Tawangmangu, tetapi sungguh, dongeng makani iwak nganggo batang menungso baru denger sekatrang ini dari critane Mas Marto. Ndesaku Sragen lan Sumberlawang jaman iku pancen akeh dulur-dulur sing ilang ora ngerti digowo nyang ngendi. Mas silahkan check: http://www.megafile upload.com/ en/file/171640/ DalihPembunuhanM assal-pdf. html siapa tahu ada yang mencerahkan. Matur nuwun sego tumpange, wareg tenan.

  27. martoart says:

    http://www.megafile“ yang disarankan itu tak klik kanan, open new tab, wah keluarnya malah asyik-asyik masal pak. hahaha

  28. papahende says:

    Maaf Mas, tak buka OK tuh, tunggu 20 detik, terus bisa download.http://www.megafileupload.com/en/file/171640/DalihPembunuhanMassal-pdf.htmlPenulisannya ada terputus, mungkin yang ini benar (tak check benar), buku ini katanya dilarang beredar.

  29. martoart says:

    trims ebooknya pak. kami (solidamor) pernah terbitin yg semacam itu juga sebelum men-temen Infid. Isinya hampir sama: seputar suharto sebagai dalang kup itu.

  30. manikamanika says:

    Rumahmu di ngawi mana mbah? Simbok bpkku aseli ngawi je. Simbahku dl ktnya pernah dpt orderan gali lobang tp gak mau. Yg trnyata buat ngubur mayat2 itu.

  31. martoart says:

    manikamanika said: Simbahku dl ktnya pernah dpt orderan gali lobang tp gak mau. Yg trnyata buat ngubur mayat2 itu

    Wah, untung gak ikut dikubur, Kan kalo menolak perintah, bisa dituduh terlibat jaman2 itu. Dan kamu gak akan ada di MP. hehehe

  32. manikamanika says:

    Kalo dulu mau gali lobang pasti ditangkep ama orba dianggap kroni pki. Oia dirimu tau bupati ngawi yg kmrn udah lengser skr yg naik jd bupati kan wakilnya dgn berwakilkan anaknya bupati yg kmrn. Trus di wngiri t4 suami, bupati yg udah menjabat 2periode eh ujug2 njago lg tp turun jd wabup. Ya ampun, ini org2 kenapa gila jabatan?

  33. martoart says:

    manikamanika said: Ya ampun, ini org2 kenapa gila jabatan?

    tak sekadar itu jeng, tapi untuk mengamankan kinerja korupsi periode sebelumnya.

  34. Si Jambrong, dimana pemilik nama itu sekarang berada ?

Leave a reply to MartoArt Cancel reply