Membaca Komik

(Dimuat di Majalah Arti Edisi III, ataupun di http://www.arti-online.com/edisi3.html)

Dengan santai, bersahaja, Komik melaju cepat. Acap bahkan mendahului waktu. Bermacam penalaran, definisi, pengertian terus mencoba merabanya. Tak pernah sepenuhnya tepat. Berbagai buku tentangnya ditulis, opini dan analisa dibentang, tak mudah memosisikannya pun dalam kotak mana karya komik berada dan apa. Tentu memang tidak harus bertujuan ke sana. Juga untuk tulisan ini. Komikpun tak hendak terusik dengan semua itu. Para penggiatnya terus menggariskan ide-idenya. Berkarya, memang begitu seharusnya.

Tengok saja misal pengertian komik menurut Wikipedia. Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Dengan batasan seperti itu, beberapa komik alternatif Yogja dan Bandung tidak masuk hitungan sebagai karya komik. Apakah juga esai foto juga bisa disebut sebagai komik? Memang sebagai situs pranata bebas dunia maya, Wikipedia tidak cukup begitu layak dijadikan acuan. Namun begitu situs ini tergolong rajin berbenah dan terus meng-upgrade setiap informasi yang masuk di dalamnya. Saya kemudian mencari referensi yang lebih akademis dalam buku berjudul “Komik Indonesia” (1998). Tidak main-main, karena buku itu adalah hasil penelitian Marcel Bonneff selama bertahun-tahun atas komik Indonesia untuk disertasi yang mampu dia pertahankan pada 1972. Namun dalam buku itu tidak saya temui sebaris definisipun. Mungkin saya terlalu berharap banyak dari Marcel Bonneff yang lebih memaparkan sejarah perkembangan komik Indonesia selama kurun waktu 1931 – 1971. Barangkali juga itu disebabkan kesulitan para penulis dalam membahas komik yang tidak bicara dalam dirinya.

Maka hadirlah Scott McCloud, yang membahas komik secara komikal. Buku bertajuk Understanding comics, terbitan HarperCollins Publishers, New York, 1993, itu adalah sebuah komik tersendiri. Rasanya pembahasan komik sudah selesai bersama hadirnya buku itu. Scott Mengupas dengan jenius dan menyampaikannya pengertian-pengertian secara cerdas. Dalam buku komiknya itu ia menyediakan banyak panel, khusus untuk membincang definisi komik. Dengan runut Scott membawa kita penuh kesabaran. Dan inilah definisi komik menurutnya; “Juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer”. Sengaja saya sertakan definisi aslinya, agar interprestasi bebas berikut bisa dikoreksi jika kelak ditemui keluputan; “Gambar-gambar serta citra lain yang dijajar dalam urutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mendapatkan tanggapan estetis dari pelihat”.

Nobody’s perfect, even a super hero. Scott terlihat sangat berusaha memurakapi (meliput dan memahami) persoalan. “Citra lain” juga disinggung. Artinya esai foto tadi, ataupun relif Borobudur termasuk komik. Termasuk kebaikan dia dalam memerhatikan nilai “tanggapan”, namun dengan pembatasan “estetis”. Bisa saja hal ini menjadi persoalan baru. Jajaran gambar teknik proses merakit mobil tidak terhitung komik, sebab yang diharap dari pelihat adalah respon logis. Scott hanya mengatakan bahwa orang akan melihatnya sebagai “Diagram”, bukan komik. Persoalan baru itu bagi saya adalah, sebuah definisi yang memunculkan timbangan “rasa” akan cenderung bersifat sumir. Dalam khasanah hukum hal itu bisa disejajarkan sebagai pasal karet. Buku putih komiknya pun sangat terasa Barat, meski dia juga sempat menyinggung keberadaan Manga. Manga adalah dunia komik tersendiri. Komik mazab Jepun ini memiliki aturan main yang seperti sengaja memorak tradisi komik Amerika. Understanding comic hanya menyediakan beberepa panel untuk itu, sehingga tampak kurang understand terhadap kompleksitas Manga. Seperti menyadari hal itu, dalam buku ke duanya Reinventing Comics, barulah Scott mengulas lebih banyak tentang Manga.

Manga Mampir

Istilah manga berasal dari dua aksara Jepang yang berarti “playful” dan “images”. Ada pula yang menyebut dari dua huruf Cina yang artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu. Tergantung buku apa yang Anda baca dan percaya. Kata “manga” digunakan pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai. Dalam sejarah manga, nama yang perlu dicatat adalah Osamu Tezuka yang dikenal sebagai “God of Manga”. Hampir semua manga modern – yang sudah dimulai sekitar tahun 1940-an – dipengaruhi oleh seniman ini. Tetsuwan Atom adalah salah satu contoh karyanya yang terkenal dan mendunia baik sebagai manga maupun anime. Kita mengenalnya sebagai Astro Boy.

Komik negeri matahari terbit ini berangkat dari semangat identitas superior sebuah bangsa yang tidak mau didikte oleh dominasi budaya asing. Amerika dalam hal ini. Ketika laju Honda mampu melindas kegarangan derum Harley Davidson, kelincahan Ninja mampu mengecoh kepiawaian Cowboy, para komikus Jepang tak mau ketinggalan menghajar para jagoan Marvel. Super Hero dalam khasanah Marvel ataupun DC selalu tampil sempurna. Otot mengkal, cakep, dan hampir tak terkalahkan. Beberapa bahkan sangat kaya, seperti Bruce wyne (Batman) dan Tony Stark (Iron Man). Manga menghadapi mereka dengan keculunan. Saat menikmati komik Jepang, Anda tiba-tiba akan bertemu wajah yang tiba-tiba deformatif, air mata yang membanjir slapstick, dan benjol kepala pangkat tiga nan cupu. Panel-panel seperti itu tidak akan pernah muncul di dalam komik laga Super Hero Amerika. Manga seperti hendak menegasi kekerasan ala Amrik dengan kekerasan yang menghasilkan kelucuan katro benjol kepala tadi. Dan itu berhasil. Peminat komik manga melimpah.

Kehadiran awal manga di Indonesia tidak lepas dari Hoya. Perusahaan Jepang produsen permainan anak itu membawa budaya baru sebuah tampilan visual. Perusahaan berlogo kuda itu ibarat Kuda Troya masuknya manga pasca stigma anti modal dan produk Jepang oleh aktivis Malari. Kemudian akselerasi mencepat bersama Sanrio yang mengenalkan (Hello) Kitty dan kawan-kawan imutnya. Manga tidak jadi sekadar mampir, tapi justru pada tahun-tahun berikutnya menguasai dunia persilatan komik Indonesia. Booming Manga disulut oleh Elex Media Komputindo, penerbit dan importir buku di bawah bendera Grup Gramedia. Tahun 80-an Elex Media Komputi
ndo mulai melunc
urkan manga. Diawali dengan Candy Candy kemudian disusul Dragon Ball, Kungfu Boy. Maka praktis pada era itu, para Super Hero Amerika dibayangi kekuatan para jagoan komik Jepang. Meskipun begitu tokoh-tokoh komik Eropa seperti Tintin, Asterik, Smurf dan tokoh-tokoh komik Asia lainnya (Korea dan Taiwan) masih mendapat kapling. Bagaimana dengan Komik Indonesia sendiri?

Komik Indonesia

Membicarakan komik Indonesia adalah membicarakan sejarahnya. Terjebak di sana. Seperti merasa belum saatnya mengulas wilayah artistiknya, atau yang lain (dengan pengecualian terhadap tesis Seno Gumira Ajidharma yang mengulas komik Panji Tengkorak karya Hans Jaladara). Tapi memang juga sejarah itu tak pernah tuntas. Komik Indonesia memiliki sejarah seperti petualangan komik itu sendiri. Acap lempeng, kadang terseok, namun tetap melaju. Komikal dan juga panjang. Lebih tua dari usia Republik ini.

Komik Indonesia modern pertama yang tercatat adalah karya Kho Wan Gie dengan karakter bernama Put On, seorang peranakan Tionghoa. Komik ini adalah strip Indonesia pertama yang terbit rutin di Surat Kabar Sin po tahun 1930. Sejak tahun 30-an sampai 60-an, Put On menginspirasi banyak komik strip lainnya. Kemudian di Solo pada mingguan Ratu Timur, terbit secara rutin komik strip berjudul “Mentjari Poetri Hidjaoe” karya Nasroen AS.

Pada akhir 1940, dalam setiap suplemen mingguan surat kabar Indonesia ada sisipan komik strip Amerika. American Invasion itu bukan kebetulan, sebab pada saat yang sama di negeri Superman itu komik sedang berada pada puncak kegemilangannya.Mereka menyebut sebagai The Golden Era dengan rentang waktu tahun 1938 – 1945. Dari sisipan itulah kita mulai kenal karakter komik seperti;Tarzan, Rip Kirby, Phantom, Flash Gordon, dan Johnny Hazard. Untuk mengimbangi komik Amerika ini, Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi koran Star Weekly menerbitkan Komik karya Siauw Tek Koei. Dalam racikan tangan seorang Siauw Tek Koei, yang memiliki teknik dan ketrampilan tinggi, komik tentang pahlawan legendaris Tiongkok Sie Djin Koei, itu akhirnya bahkan sempat mengalahkan popularitas Flash Gordon dan Tarzan. Komik ini menjadi pelopor komik silat Indonesia yang kelak populer pada tahun 1968.

Di awal tahun 1950, terbit komik strip heroik di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, karya komikus Abdulsalam. Belakangan komik ini dibukukan oleh Harian Pikiran Rakyat, Bandung. Sebagian pengamat komik menasbih sebagai buku komik pertama oleh komikus asli Indonesia. Saya membayangkan penasbihan itu sebagai pilihan frustatif akibat sulit menemukan identitas komik Indonesia. Padahal, apa perlunya menentukan sebuah identitas yang punya kecenderungan seragam di sebuah negeri yang penuh keragaman budaya seperti Indonesia. Bagaimanapun, komik modern Indonesia dalam sejarah awalnya mengacu dari dunia Barat. Tak kan bisa kita lepaskan nama-nama besar seperti; Jim Kirby, Will Eisner, Walt Disney, juga belakangan Frank Miller. Termasuk karakter komik seperti Tintin, Asterix, Trigan, Smurf, Paman Gober, Old Shatterhand, Roel Dijkstra, Spiderman, dan Superman. Jangan lupakan juga pengaruh Cina seperti yang ditulis sebelumnya.

Barat (Amerika) dan Timur (Cina) mengharu-biru wajah komik Indonesia. Menyangkal keterpengaruhan adalah sikap naif. Karena itu ketika terjadi aksi imitasi hendaklah jangan keburu dipandang miring sekadar plagiasi. Terlebih jika sampai menuduh komikusnya tidak nasionalis. Konteks yang ada juga harus dipahami. Seperti kenapa R.A.Kosasih yang disebut Bapak Komikus Indoesia, tega melakukan imitasi tokoh Wonder Woman itu menjadi Sri Asih (1954). Jagoan perempuan ciptaan Dr. Willaim Moulton Marston (Nama penanya; Charles Moulton) yang tampil pertama pada bulan Desember 1941 di All Star Comics No. 8. Peniruan itu juga bukan sepenuhnya dosa dia. Penerbit yang memintanya. Dengan deformasi visual ala Kosasih, figur Sri Asih ciptanya itu menjadi tampak sedemikian Sunda saat muncul. Kita bisa melihat hal
itu justru sebagai upaya menyelamatkan komik Indonesia dari gempuran asing.

Selain itu juga, dalam dunia komik yang berkecenderungan mengusung dominasi fantasia, komikus akan sedikit kerepotan kalau sengaja meninggalkannya. Tak ayal tema aksi dan roman lebih menarik minat penikmatnya. Tema aksi cenderung berbanding lurus dengan kemengkalan tubuh seorang Super Hero. Dan ini lebih dulu ditangkap oleh komik-komik Amerika. Maka lahirlah jagoan lokal adaptasi barat yang lain seperti Garuda putih (kostumnya mirip The Flash), Kapten Komet (Flash Gordon), dan Djantaka (Tarzan). Sementara itu meskipun ada Bima dan anak-anaknya, ksatria pribumi pada umumnya berperawakan feminin seperti Arjuna, Rama, Abimanyu, Puntadewa, Kresna, dan Pandu Dewanata. Maskulinitas lebih menjadi milik dunia kejahatan Rahwana, Burisrawa, Buto Terong, Rambut Geni, Jurang Grawah, Padas gempal, dan para raksasa lainnya.

Dunia fantasia di sebelahnya, yaitu komik bertema roman percintaan remaja biasa menampilkan visual perempuan seksi berpakaian ketat, model you can see, dan rok mini. Cerita yang disuguhkan juga menarik pembaca karena acap membawa mereka mengawang di dunia birahi. Dus, seperti yang dilaporkan Marcel Bonneff dalam bukunya; “Dari sudut pandang komersial, erotisme dan kekerasan lebih mendatangkan untung daripada melukiskan kebaikan hati”. Hal itu dianggap tidak berpekerti ketimuran dan hanya mementingkan bisnis. Kaum nasionalis seperti mendapat angin dan memiliki alasan tepat untuk mengantisipasi pengaruh barat. Akhirnya adapatasi komik barat ke dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dari para pendidik dan kritikan dari kalangan budayawan. Ini menjelang akhir 70-an, era yang belum begitu lama ketika musik pop dianggap sekadar ngak-ngik-ngok alias kontra revolusioner dan pro-Barat.

Menyadari itu, penerbit komik seperti Melodi, Bandung, dan Keng Po, Jakarta mulai mengais khazanah kebudayaan nasional. Maka cerita-cerita dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema utama dalam penerbitan selanjutnya. Seperti hendak menebus dosa masa lalu, R.A. Kosasih dengan ketekunan seorang empu mulai mewujudkan proyek menerjemahkan epik Mahabharata kedalam komik. Berkat dia dan komikus lain seperti Ardisoma dan Teguh Santoso, kisah pewayangan menjadi semakin lebih dekat dengan kita. Akhirnya beliau berhasil menyajikan kisah Mahabharata secara utuh dalam komik. Sumatra seperti tidak mau ketinggalan dalam menghadirkan ceritera rakyat mereka. Di bawah penerbitanCasso dan Harris, Medan, para jago gambar seperti Taguan Hardjo, Djas, danZam Nuldyn, melansir komik-komik lokal yang sarat estetika dan nilai filsafat. Komik-komik yang disadur dari kekayaan lokal ini kemudian menjadi tema yang sangat digemari hingga 1970an.

Pasca 70-an arah politik Indonesia tidak lagi anti Barat. Komik-komik Barat semakin deras masuk. Otot mengkal jagoan Amerika kembali diminati. Pengimitasian juga merebak, dan hadirlah Godam (Superman), Kawa Hijau, La-Maut, Laba-Laba Merah (Spiderman), Gundala (The Flash), Aquanus (Aquaman), dan Pangeran Mlaar (The Fantastic Four). Setelah mendaki dari etape 60-an, 70-an, sampailah pada puncak Komik Indonesia sekitar tahun 1975. Namun bukan berarti tanggapan miring terhadap bahaya komik juga sirna. Sisa-sisa kekhawatiran para orang tua dan guru akan pengaruh barat terus membayangi. Hampir sebagian kita, generasi pra-manga rasanya pernah dimarahi atau setidaknya ditegur karena keasyikan menekuri komik. Hal itu seperti sebuah ironi tersendiri, sebab kekhawatiran yang sama juga pernah terjadi di Amerika, negeri para Super Hero itu. Tahun 1950-an, pada dekade itu Amerika ditandai dengan masa pengganyangan komik. Komik dituduh menjadi penyebab keterpurukan mental, pemicu kekerasan, dan kenakalan remaja. Untuk itu perlu dibuat peraturan komik (Comic Code) sebagai cara membatasi dan mengatur apa yang dapat muncul dan yang tidak di dalam lembar halaman komik. Peraturan ini menghancurkan banyak komik. Rupanya orang Barat itu juga memegang budaya Ketimuran.

Kalau saja para orang tua di Indonesia itu mau menunggu sejenak, mereka pasti tidak akan keburu sewot, sebab pasca jaman keemasan itu komik Indonesia tiba-tiba nyungsep di tahun 1980. Banyak hal yang memungkinkan itu terjadi. Selain tabiat Comicophobia para orang tua, proses pengerjaan komik relatif lebih lama dibanding menulis cerpen. Setidaknya seorang penulis cerita tidak dituntut bisa menggambar, sedangkan komikus sebaiknya juga bisa bertutur. Maka penggiat komik juga tidak sebanyak novelis. Akhirnya para penerbit mengambil jalan bisnis yang lebih masuk akal. Honor yang (seharusnya) tinggi untuk komikus cukup bisa diatasi dengan mengimpor komik-komik asing. Itulah era di mana para jagoan Jepang, Cina, Korea, Taiwan, Eropa, dan Amerika turun gunung meramaikan rimba persilatan alias dunia
komik, sementara Komik Indonesia seperti pertapa tua yang pergi menyepi.

Komik Indi; Tak ada penerbit, fotokopipun jadi.

Diniatkan dengan semangat kaum muda untuk melawan hegemoni. Hegemoni apa saja seputar perkomikan. Melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia, hegemoni penerbit, serta hegemoni cerita dan karakter main stream seperti Si Buta atau Superman. Komik-komik independen Indonesia (yang cukup disebut Komik Indi) mencoba tampil berbeda, dan nyatanya memang berbeda. Mereka membuat gaya tersendiri, dan itu didapat dengan terus bereksperimen. Mereka bisa saja menggabungkan karakter Wayang, Marvel, dan Manga dalam sebuah gaya gado-gado, atau tidak sama sekali. Demikian pula cara bertuturnya. Dalam satu komik bisa tiba-tiba sangat sastrawi, berbagai bahasa, bahkan balon kata yang kosong. Mereka juga melawan hegemoni kertas dan kebukuan. Maka mereka bisa menggunakan semua media yang ada seperti tembok untuk mural, kain untuk banner dan kertas bekas sebagai poster.

Ketidakpercayaan terhadap penerbit bisa jadi lantaran buah ulah bisnis korporasi yang tidak tertarik menerbitkan komik lokal. Ini semacam solidaritas bawah sadar mereka terhadap generasi sebelumnya. Banyak komikus Indi mengandalkan mesin fotokopi dan cetak saring untuk penggandaan karya. Moto mereka adalah “Do It Yourself! (DIY)” atawa Kerjakan sendiri! Sistem distribusi dilakukan di saat ada pameran komik atau acara konser musik yang juga Indi. Perupa komik indi memang biasanya bertaut dengan kelompok Underground dan Punk. Di situ mereka melakukan transaksinya baik jual-beli atau barter. Tak jarang komikus Indi menyilakan karyanya untuk diperbanyak dan dipakai, asal memberitahu mereka untuk apa. Selain cukup merasa dihargai dengan mencantumkan kredit, mereka merasa bisa berkontribusi dalam perjuangannya. Itulah yang mereka sebut dengan “Copyleft” alias lawan dari copyright.

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Komikus Beng Rahadian bahwa, Komik Indi adalah sebuah antithesis terhadap industrialisasi komik. Selanjutnya Beng menambahkan beberapa kaidah komik Indi, yaitu tidak terpukau oleh produksi masal, tidak harus sebuah kerja tim, dan gagasan lebih bersifat personal bahkan cenderung liar. Komik bagi mereka hanya sebagai media penyampaikan gagasan, karya lebih jujur karena tidak ada pertimbangan laba dan komoditi. Kadang bebas melintas batasan estetika, moral, dan kultur. Nir tabu. Hal seperti ini susah diterima penerbit.

Beng mencatat komik Indi mulai mengibarkan benderanya bersamaan dengan diadakannya Pasar Seni ITB tahun 1995. Namun begitu bibitnya sudah disemai di Yogya pada tahun 1992 oleh para penggiatnya secara underground. Sapto Raharjo alias Athonk salah satunya. Seniman tato yang mengenyam kuliah di FSR – ISI Yogyakarta itu rajin memfotokopi dan membagi karya komiknya yang bertajuk Dally Land. Ketekunannya membuahkan hasil. Komiknya “Old Skull; In The Garden” memenangi penghargaan sebagai komik Indi terbaik versi KONDE 2007. Saat ini komunitas seni rupa yang menggiati komik, khususnya genre Indi mulai marak. Beberapa studio komik independen di antaranya adalah Daging Tumbuh, Apotik Komik, dan Bengkel Qomik. Pelan, Komik Indonesia mulai kembali menggeliat. Dengan caranya sendiri. Seolah Sang Pertapa Tua tadi telah bereinkarnasi.

Menyambut era komik digital

Teknologi digital menjadikan seniman komik semakin mendapat ruang untuk bergerak lebih bebas. Di masa kertas, keliaran penggiat komik tertahan oleh medium yang terukur secara panjang dan lebar. Layar monitor menggantikan kertas dan kanvas, guratan pinsil dan blok tinta tergantikan oleh cercah piksel. Ongkos cetak (printing) teratasi dengan biaya pulsa pengunduhan (down load). Jaringan distribusi dengan mudah bisa dilakukan bersama jaringan internet, demikian pula proses jual-beli karya. Dan sebagainya. Tapi semua itu belum serentak terjadi. Pasti sudah ada yang memulai, tapi masih di lingkup eksklusif seperti para penggiat komik eksperimental dan mereka yang sangat “gadget minded”.

Kenapa eksklusif? Itu mudah ditebak. Dukungan teknologi yang belum optimal. Yang itu berimbas pada respon penikmatnya kelak. Namun sebelumnya, apakah para kreatornya sudah cukup paham betul menyikapi fasilitas kebebasan yang ada? Pertanyaan ini bernada pesimistis, tapi itu memang berangkat dari tabiat yang kita biasa lihat. Alih-alih berkarya dengan memfungsikan kelebihan teknologi digital seperti memainkan ruang Jukstaposisi, komikus kita hanya meminda
i karya dan mindahkannya ke Photoshop. Memang kita tidak harus ikut kaidah komik digital versi Scott (lihat Comic’s Box),

tapi tidak ada salahnya sedikit berkompromi dengan teknologi sekaligus mengukur kesiapan kita menghadapi era Komik Digital tersebut. Mau?

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

45 Responses to Membaca Komik

  1. martoart says:

    Kredit untuk sampul Understanding Comic dari KPG. Beberapa gambar halaman komik dari Kpmik Indonesia, Marcel Bonneff. Old Skull karya Athonk dari Katalog Konde 2007. Wonder Woman dan Sri Asih diambil dari website semaksimal pembesaran yang diijinkan. Comic’s Box wawancara dengan Beng Rahardian adalah karya saya sendiri. Apabila teks tidak terbaca, klik saja gambar yang ada.Terima kasih untuk semuanya.

  2. cechgentong says:

    Harus ada antisipasinya kang…supaya jangan ketinggalan heee sok tahu kayak ngerti aja tapi yang penting yakin dulu….:)

  3. ravindata says:

    Apa bedanya spiderman dengan laba2 merah ?

  4. kisminis says:

    tadinya saya pikir orisinalitas tetap hal yang paling dijunjung tinggi, tetapi persepsi itu harus segera saya rubah dengan bijak setelah saya baca tulisan ini. Makasih om Marto (makasih dah mampir juga ke saya…)

  5. martoart says:

    Orisinalitas tetep penting Kis, nomor satu itu. tapi kalo ada alasan seperti yang dilakukan Pak Kosasih, ya baik. Toh gak ada yang benar-benar orisinal di bawah matahari ini (WS Rendra). Juga kesamaan ide acap terjadi. yg penting inamal akmalu binniat, niat kita jangan nyontek. karena hanya akan menunjukkan kekerdilan (ketidakkretivan) sekaligus kecurangan kita.Sama-sama. trims banget dah komen.

  6. martoart says:

    ravindata said: Apa bedanya spiderman dengan laba2 merah ?

    Bedanya, Laba-laba Merah stress karena gedung di jkt dikit n jaraknya jauh. Dia pendukung utama dibangunnya banyak mall. Kalo pacarnya Spiderman Marry Jane, pacar dia Marijem.Yang ini serius; Laba-laba Merah wanabe Spiderman. bedanya lagi ada seperti sirip jaring diantara lengan dengan belikatnya untuk kendali (seperti tupai terbang). Spiderman hasil mutan (atau dientup spider mutan), Laba-laba Merah rekayasa laboraturium (pakaian yg bisa lekat, termasuk jaring). Spiderman Marvel Comic, kalo Laba-laba Merah Maranatha Bandung. Yg lain lupa Vin.

  7. ravindata says:

    Kalau di komik dulu biasanya, ada juga bumbu sexnya ya mas ? Sprti adegan perkosaan pada karya2 Jan Mintarga, Ganes atau Teguh sebagai bumbu penyedapnya ? Ilustrasi gambar biasanya : perempuan di ranjang dng paha yg tersibak, cengkeraman pd sprei kasur, tulisan oh oh di balik belukar dsb

  8. martoart says:

    Betul, aku cuma ambil dikit aja untuk contoh. Waktu kecil baca komik roman jadi ther-ther sendiri. Gambar Jan yg paling wow! postur ceweknya sangat sempurna. tapi dia justru anti pornographi. Trguh santosa juga. Namun begitu, merekalah yg memicu aku jadi “dewasa” karena sangat soft dalam penggambarannya.Mungkin kita lebih dulu “maju” dari hentai ya… Kalee…

  9. luqmanhakim says:

    Mas Marto…Aku tambahi sedikit dari yang terlewat mengenai sejarah Komik Indonesia. Dari tahun 1996, Depdiknas sudah tergolong ‘rajin’ membangkitkan Komik Indonesia lewat sayembara komiknya. Baru tahun 1999, beberapa komikus itu diiming-imingi penerbit yang mau mempopulerkan komik-komiknya, Balai Pustakalah yang ditunjuk oleh Depdiknas. Beberapa komik Indonesia mulai terbit, terpampang di gerai toko buku macam Gramedia dan Gunung Agung. Namun memang sulit menjangkau khalayak banyak, Komik Indonesia kalah bersaing dengan komik Jepang yang terlanjur dekat dengan anak-anak Indonesia. Alhasil, Komik Indonesia yang sudah dibantu Balai Pustaka pun lagi-lagi nggak mau bangun, tetap saja tidur lelap.Di akhir tahun 90-an, tepatnya aku lupa, apalagi tanggalnya, komunitas komikus didirikan, Masyarakat Komik Indonesia (MKI), tujuannya buat menggalang kebersamaan komikus mendobrak kembali kejayaan Komik Indonesia persis tahun-tahun 1950 dan 1960-an. Tapi nyatanya sama aja seperti Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI) didirikan tanggal 13 Desember 1989, awalnya didirikan untuk menggalang kebersamaan kartunis seluruh Indonesia dan membuat kartun mampu dipandang sama seperti tulisan. Lucunya, dari tahun 1989 sampe sekarang, Ketua Umum PAKARTI tetap saja Mas Pramono, mantan kartunis Suara Pembaruan. Intinya, menggalang kebersamaan sesama seniman jauh lebih sulit ketimbang menggalang kebersamaan anak-anak SD, di mana seniman itu lebih ‘sibuk’ dengan ide-ide di kepala yang ingin dikeluarkan tapi sulit keluar ketimbang anak-anak SD yang langsung mengeluarkan ide-ide di kepalanya.Dari sini, beberapa kartunis mulai membuat komik-komiknya sendiri. Mas Dwi Koendoro, kartunis Panji Koming dan Sawung Kampret mengeluarkan komik serial Sawung Kampret dan Panji Komingnya, Ismail, kartunis Sukribo di Kompas Minggu juga sempat membuat komik-komik Islam yang diterbitkan Mizan. Tapi tetap saja gaungnya tak terdengar sampai sekarang. Komik Indonesia memang sudah terkubur lama dan mati. Kerangkanya sudah memfosil. Sulit menghidupkannya lagi.Kalaupun ingin dihidupkan, benar-benar butuh skrip yang kuat, sama kuatnya seperti skrip film yang selalu dikenal sepanjang jaman. Benny Rachmadi ikut membuktikannya dengan komik “Lagak Jakarta”-nya, pun jauh-jauh hari Mas Dwi Koendoro juga sudah menjajalnya.Pertanyaannya singkat saja.Siapa yang butuh komik?Kebutuhan komik itu untuk apa?Apakah komik akan jadi sekedar pelengkap penderita ilustrasi tulisan saja?Apakah bisa komik berdiri sendiri?Buat orang-orang yang mampu berpikir menyeluruh dan mampu menggarap komik, mempopulerkan komik saja rasanya tak cukup, komik itu haruslah “long lasting” seperti Marvel dengan superhero-nya. Manga juga, beragam begitu hingga orang akan langsung menudingnya produk Jepang.Sekarang, di mana ya, komik (asli) produk Indonesia?

  10. martoart says:

    wah, asik tambahannya bung. thx banget.pertanyaan – pertanyaan itu semoga bisa ikut dibantu temen-temen MP menjawabnya. Kalo aku coba jwb begini;1) mungkin tingkatnya bukan “kebutuhan”, tapi sekadar “keperluan”.2) Dari situ baru kita coba apa perlunya. Sebagai produk seni, Nilai Pentingnya komik justru terletak dari tidak pentingnya dia.3) Komik beda dengan cergam (cerita bergambar) ataupun ilustrasi yg “sekadar” pelengkap tadi. Mungkin malah lebih layak disebut Gamcer (gambar yg bercerita)4) Secara produk, dia berdiri sendiri. Secara proses, dia lebih baik dikerjakan bersama.5) Produk Komik Asli Indonesia? Banyak aku rasa (seperti yg bung sebut diatas). Tapi komik secara konsep, tidak pernah (dan tak boleh) ada yg mengklaim asli, bahkan marvel ataupun DC. Sejarah komik dunia terlalu panjang.Silakan yang lain share comment.

  11. ravindata says:

    Mungkin diperlukan kemunculan ‘pahlawan baru’ yang bisa diterima, sebagaimana komik2 jepang yg biasa dibaca anak saya. Persoalannya bukankah di negara kita ini telah terjadi krisis terhadap tokoh atau pahlawan yang membela rakyat kecil ? Dan jangan2 sudah menjalar ke dunia komik juga …. Bukankah ra kosasih sdh men-seda-kan pandawa. Tamat.

  12. wiloemanies says:

    anda cerdas, artikel anda selain informatif juga enak dibaca.btw, orang ngawi ya? sama dong dengan aku.

  13. martoart says:

    he he.. saya tersanjung. terima ksaih telah dipuji.

  14. aidavyasa says:

    tampilan MP yang aneh! masak kudu klik satusatu baru bisa nikmati komentar orang ah! M, memang!

  15. martoart says:

    Sorry V, aku dah bilang bahwa aku MP generasi pasca blokiran. lom gitu paham. istilahnya yesterday afternoon boy-lah.

  16. aidavyasa says:

    martoart said: Sorry V, aku dah bilang bahwa aku MP generasi pasca blokiran. lom gitu paham. istilahnya yesterday afternoon boy-lah.

    ama kamu berat banget yabaca benak M, masa’ ku harus ampe bikin teh dulu. Sediain camilan biar manggut-manggutnya sambil mengunyah sesuatu. awalnya datar, tapi begitu tengah cerita, mengejutkan!

  17. chanina says:

    TFS, terkahir baca komik indonesia ya beny n mice, padahal waktu kecil dulu hobi baca komik, anehnya pas kungfu boy menyerbu, aku ga begitu minat lagi, baru setelah baca komik bahasa prancis jadi seneng komik lagi. jadi inget aku pernah juga nulis dikit tentang komik. http://chanina.multiply.com/reviews/item/18

  18. bapakranger says:

    secara visual (hampir) sama persis…soalnya bahkan para ilustrator spider-man masa kini pun udah banyak keluar dari pakem kreatornya, steve ditko:- warna hitam pada bagian non jaring diganti biru- jaring di bawah ketiak sering tidak digambarspider-man ciptaan stan lee (penulis) & steve ditko (pelukis), sementara labah-labah merah (bener, pake huruf ‘h’ di belakangnya ‘^_^) hasil karya kus bramiana dari bandung

  19. bapakranger says:

    – jaring didapat labah2 merah dari hasil ‘kunjungan’nya ke atlantis (labah-labah merah: ditjulik ke atlantis)- kekuatan labah2 merah udah di-upgrade sama alien (tujuh labah-labah merah)- labah-labah merah udah punya istri, labah-labah mirah / leidya (munculnya labah-labah mirah)

  20. bapakranger says:

    luqmanhakim said: Di akhir tahun 90-an, tepatnya aku lupa, apalagi tanggalnya, komunitas komikus didirikan, Masyarakat Komik Indonesia (MKI)

    15 Maret 1997, oom… ^_^

  21. martoart says:

    Pak Ranger, trims bangets tambahan n koreksinya. ini juga buat teman-teman semua.Pak, konon perubahan warna itu untuk nyalain semangat nasionalisme amrik ya? merah biru, warna dominan benderanya. ini juga untuk tokoh lain seperti superman, (apalagi) kapten amrik, wonder waman, etc.Dan betul, jaring bawah ketiak yg fungsinya tuk kendali mirip milik tupai terbang itu sering gak nongol.Saya kira labah-labah Mirah (pake H ya?) itu pacarnya, jebulnya dah akad nikah. he he..Informasi yang lain menunjukkan saya kurang baca komik. Sekali lagi, trims.

  22. bapakranger says:

    martoart said: Pak Ranger, trims bangets tambahan n koreksinya. ini juga buat teman-teman semua.

    sama-sama, salam kenal juga untuk sesama penggemar komik ^_^

  23. bapakranger says:

    martoart said: Pak, konon perubahan warna itu untuk nyalain semangat nasionalisme amrik ya? merah biru, warna dominan benderanya. ini juga untuk tokoh lain seperti superman, (apalagi) kapten amrik, wonder waman, etc.

    yap, bener sekali… seratus untuk den marto ^_^

  24. bapakranger says:

    martoart said: Dan betul, jaring bawah ketiak yg fungsinya tuk kendali mirip milik tupai terbang itu sering gak nongol.

    padahal untuk sebuah elemen estetis desain, jaring di bawah ketiak itu asli keren banget! paling nggak menurutku lho ya, he3x… ya kalo keteknya gatel agak2 repot juga sih garuknya

  25. bapakranger says:

    martoart said: Saya kira labah-labah Mirah (pake H ya?) itu pacarnya, jebulnya dah akad nikah. he he..

    Iya, Labah-Labah Mirah (pake huruf H… soalnya Stan Lee pecipta Spider-Man sendiri sering sebel kalo tokoh ciptaannya ditulis ‘Spiderman’. Menurut dia di vcd Duscovery Channel Top 10 Comic Book Heroes, penulisan nama Spider-Man dgn tanda pisah sengaja biar nggak terlalu mirip Superman… maklum, saingan ‘^_^)Pertama kali waktu Bramiana jadi Labah-Labah Merah, memang dia dan Leidya masih pacaran (Labah-Labah Merah: Singa Laut Bertaring Emas), baru kemudian Leidya ikutan jadi Labah-Labah Mirah (Munculnya Labah-Labah Mirah) hingga akhirnya mereka nikah (kalo nggak salah di Labah-Labah Merah vs Hantu-Hantu Neraka diceritain pas bulan madunya, maaf nggak terlalu inget diceritain kapan nikahnya ‘^_^)

  26. bapakranger says:

    martoart said: Informasi yang lain menunjukkan saya kurang baca komik.

    hati2 jangan terlalu banyak baca komik lho… nggak baik utk kantong! he3xduh, tulisan gw ttg komik nggak dimuat euy sama arti (sedih dan sedikit iri juga sama yang tulisannya dimuat… he3x)

  27. martoart says:

    Ah, itu cuma kalah cepet aja Pak. Bukan masalah kualitas….

  28. bapakranger says:

    he3x… oom marto terlalu merendah nihsok atuh ditunggu lagi tulisan2 ttg komik berikutnyaseneng deh nemu temen2 yg sama2 demen komik Indonesia (lama maupun baru)

  29. liusteven says:

    Ada yg tahu di mana bisa baca e komik2 Indonesia seperti serial Brutal dari Labah2 Merah?Steven

  30. martoart says:

    coba tanya; bapakranger yang di atas itu. beliau banyak tahu soal komik.

  31. afemaleguest says:

    jadi ingat waktu masih duduk di bangku SD berlangganan majalah BOBO dimana kemudian sebagai sisipannya ada komik Mahabarata. Pertama kali mengenal kisah ini dari komik sisipan majalah kanak-kanak ini. well, memang di Indonesia komik maupun kartun selalu dianggap sebagai konsumsi anak-anak ya? padahal ga selalu ditujukan untuk anak-anak. ^_^di pertengahan kedua dekade tujuhpuluhan itu majalah BOBO juga menerbitkan novel-novel klasik yang disimplifiedkan ceritanya plus disajikan dalam bentuk komik. tahu anak2nya suka membaca, bokap membelikan semua (kayaknya semua) serial novel klasik ini, misal: Treasure Island, David Copperfield, Oliver Twist, Heidi, sampai Around the earth in 80 days, Journey to the center of the earth, dll. Awal tahun lapanpuluhan, aku mulai ninggalin komik karena ceritanya pendek, gambarnya banyak. ^_^ mulai suka membaca novel untuk anak-anak, misal Lima Sekawan, Sapta Siaga, karena gambarnya sedikit dan ceritanya lebih panjang daripada komik. kakak sepupu yang waktu itu sedang belajar di Gontor, kalau sedang menghabiskan libur Ramadhan di Semarang suka nyewa novel serial kungfu.setahun yang lalu aku dipinjemin teman otobiografi Alison Bechdel yang dia bikin dalam bentuk komik, dengan judul FUN HOME: A FAMILY TRAGICOMIC. (setelah sekian dekade aku berhenti membaca komik ^_^) Well, mungkin jika aku membaca otobiografi Alison tidak dalam bentuk komik, aku malah ga bisa membayangkan what she and her dad looked like, etc. *FYI, kali ini nulis komen setelah usai baca postingan, tanpa membaca komen yang sudah ada terlebih dahulu*

  32. afemaleguest says:

    zaman anakku SD maupun SMP, aku ga nemu komik-komik jenis novel klasik yang dulu kubaca waktu kecil, so, untuk memperkenalkan dia cerita-cerita novel klasik, aku ajakin nonton film, mulai dari Pride and Prejudice, Sense and Sensibility, Bleak House, Daisy Miller, dll. untung dia suka.so pasti dia pun penggemar komik-komik Jepang, sebangsa Conan — somewhat role model LOL — Doraemon, sampai yang untuk remaja, Death Note kalo ga salah judulnya? dan dia juga rajin download dari internet, jika dia ga sabar nunggu edisi printed-nya. LOL. *curhat, biasa* ^_^v

  33. martoart says:

    afemaleguest said: so pasti dia pun penggemar komik-komik Jepang

    udah mulai dienalin ma hentai kan?

  34. afemaleguest says:

    aku ga tahu hentai Kangwaktu nulis ini, aku nanya dia, dia yg kasih tahu hentai itu apawkkkkkk … she doesn’t like it:-)mending ngomong tentang seks langsung aja 😛 tanpa lewat hentai

  35. ganesth says:

    wah jaman ente nulis ini kita belon kontak ya?sayang juga mp ay udah awarahum.. banyak esay2 penting ttg komik juga disono yg ay gak punya lagi kopiannya.. kamvret !kayak: ternyata komik endonesa yang terbit pertama kali dalam bentuk buku ternyata adalah karya Abdulsalam (judulnya lupa, tapi tentang perjuangan kemerdekaan gitu kalo gak salah).. sementara di marcel bonef dibilang kosasih duluan.. 😦

  36. ganesth says:

    martoart said: nyuri2 narsis

    maxutnyeeee??? :))

  37. ganesth says:

    oya, gila banget.. masak komik penting dari cerpen seno gumira yang digambar siapa itu kok gak dicatet? terlalu…

  38. martoart says:

    ganesth said: maxutnyeeee??? :))

    Coba ente klik tuh link dr ane. pas banget buat HS ente.

  39. martoart says:

    ganesth said: oya, gila banget.. masak komik penting dari cerpen seno gumira yang digambar siapa itu kok gak dicatet? terlalu…

    Aznar Zacky, dosen gw tuh di kampus.

  40. ganesth says:

    ooo.. nggak kok, aslinya emang kaya gitu.

  41. ganesth says:

    martoart said: Aznar Zacky,

    kurang penting yang itu mah.. :))

  42. darnia says:

    Cak Martoooo…inih…inih…….keren!!Meski kudu beberapa kali baca untuk memahami runutannya, tapi sejauh ini, ini analisa kumplit yang pernah aku baca tentang perkembangan komik Indonesia.Matur nuwun udah sharing ya…*tetep cinta komik Indonesia*

Leave a reply to aidavyasa Cancel reply